¹⁴ Kejujuran Anin

7 3 0
                                    

Arlan duduk di samping tempat tidur Anin, memandangi wajah tenangnya yang tertidur. Namun, pikirannya mulai dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Meskipun momen tadi terasa begitu indah dan penuh kelegaan, ada perasaan janggal yang tiba-tiba menyeruak di benaknya. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam yang belum diungkapkan oleh Anin, sesuatu yang membuatnya berakhir di rumah sakit ini.

Arlan menggenggam tangan Anin lebih erat, meski matanya tertuju pada lantai kamar yang sunyi. "Kenapa harus kayak gini, Nin? Kenapa kamu sampai jatuh sakit?" gumamnya dalam hati, tak ingin membangunkan Anin.

Waktu berlalu pelan. Tak lama setelah itu, Anin terbangun. Dia menatap Arlan dengan mata lelah namun tetap menghangatkan hati. Melihat ekspresi Arlan yang tampak khawatir, Anin tahu ini saatnya bicara.

"Arlan..." Suara Anin terdengar lembut namun penuh dengan beban. "Aku harus jujur sama kamu... Kenapa aku bisa sampai di sini."

Arlan mengangguk, memberi isyarat bahwa dia siap mendengar apa pun yang Anin ingin katakan. "Apa pun itu, aku di sini buat kamu, Nin."

Anin menghela napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Kamu tau, kan, aku sempat ketemu Daniel beberapa waktu lalu? Aku kira pertemuan itu bisa jadi momen untuk menyelesaikan semuanya, biar aku bisa benar-benar bebas dari bayangan dia."

Arlan diam, mendengarkan dengan seksama.

"Dia bilang ingin jujur soal pernikahan palsunya dengan Natasya... Akhirnya, aku setuju buat ketemu dia. Aku pikir, mungkin setelah itu semua akan selesai. Tapi ternyata, Natasya tau soal pertemuan kami." Anin menelan ludah, rasa sakit dari kenangan itu terpancar jelas di wajahnya.

"Waktu itu aku ga mau ribut. Aku cuma pengen denger penjelasan Daniel, selesaiin semuanya baik-baik. Tapi Natasya datang... Dia marah besar. Bukan cuma ke Daniel, tapi ke aku juga. Dia bilang banyak hal yang bikin hatiku hancur." Suara Anin mulai bergetar.

Arlan mengerutkan kening, hatinya ikut merasakan kepedihan yang Anin alami. "Apa yang dia bilang, Nin?"

"Dia bilang kalau aku ini penyebab semua masalah... Kalau aku yang bikin Daniel nggak bahagia, padahal selama ini aku nggak pernah mau campur. Mereka yang datang ke hidupku, bukan aku yang nyari masalah sama mereka." Air mata Anin mulai mengalir pelan, dan Arlan dengan cepat meraih bahunya, mencoba menenangkannya.

"Tapi kata-katanya itu... Lan, rasanya sakit banget. Seolah-olah aku yang merusak semuanya. Aku nggak bisa tahan lagi. Aku cuma pengen jauh dari mereka... Aku pengen hilang dari semua kekacauan ini."

Arlan mengusap punggung Anin dengan lembut, menahan amarah yang mulai berkecamuk di dalam dirinya. "Nin, kamu nggak salah. Kamu nggak pernah salah. Itu mereka yang membawa masalah ke kamu. Kamu nggak harus menanggung semua ini sendiri."

Anin terisak pelan, meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisnya. "Aku cuma pengen bebas, Lan... Pengen hidup tenang tanpa mereka lagi."

Arlan menarik Anin ke dalam pelukannya, membiarkan dia menangis sepuasnya di dadanya. "Aku ngerti, Nin. Dan aku janji, mulai sekarang, kamu nggak akan sendirian lagi. Aku akan lindungi kamu, dari apa pun itu. Mereka nggak akan bisa nyakitin kamu lagi."

Anin mengangguk pelan di pelukan Arlan. Perasaan lega mulai merayap di hatinya, meski rasa sakit itu masih ada. Setidaknya, sekarang dia tahu, dia tidak akan menghadapi semua ini sendirian.

Arlan memandangi Anin yang masih berada dalam pelukannya. Tangisannya mulai mereda, dan kelelahan mulai tampak di wajahnya yang sembab. Di dalam hatinya, Arlan merasakan campuran emosi yang sulit digambarkan—antara kemarahan, kesedihan, dan keinginan kuat untuk melindungi Anin dari semua masalah yang telah menghancurkan hatinya.

Love is a wound [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang