¹³ Perasaan yang sama

12 2 0
                                    

Arlan duduk di samping tempat tidur Anin setelah Fina meninggalkan ruangan. Ia merasa sedikit lega bisa membantu menjaga Anin, meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan. Ia tahu Anin membutuhkan istirahat yang cukup, namun rasa khawatirnya tak kunjung mereda. Arlan mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya, berniat menulis sesuatu, mungkin untuk menenangkan pikirannya sendiri.

"Arlan, kamu gak harus nungguin aku terus, lho..." suara lemah Anin terdengar dari tempat tidurnya. Matanya masih setengah tertutup, tapi dia tersenyum tipis.

Arlan menatap Anin dengan penuh perhatian. "Aku tau, tapi aku mau. Aku ga bisa tenang kalau ga lihat kamu istirahat beneran."

Anin tersenyum, lalu menghela napas pelan. "Makasih ya Arlan... tapi aku ga mau kamu ngerasa khawatir terus. Aku cuma butuh waktu buat istirahat."

"Ga apa-apa. Selama kamu sembuh, aku di sini." Arlan balas tersenyum, mencoba menenangkan perasaan cemas yang masih menggelayut di hatinya.

Ruangan itu hening sejenak. Hanya ada suara alat-alat medis yang berdengung pelan, menemani pikiran Arlan yang terus berputar. Ia ingin bicara lebih banyak dengan Anin, tapi ia juga tidak ingin membebani Anin yang masih terlihat lelah. Akhirnya, Arlan memutuskan untuk tetap diam dan menunggu sampai Anin siap untuk berbicara lebih banyak.

Setelah beberapa saat, Anin kembali tertidur. Arlan menghabiskan waktu dengan membaca buku yang ia bawa, sesekali melirik ke arah Anin untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Namun, di dalam hatinya, Arlan tahu bahwa ini lebih dari sekedar masalah kelelahan fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat Anin sakit, dan Arlan bertekad untuk membantunya melalui itu, apapun yang terjadi.

Hari semakin siang, dan Arlan terus duduk di sana, menjaga Anin dengan penuh perhatian. Ia tau, di balik semua ini, ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar kekhawatiran seorang Anin. Tapi sekarang, yang terpenting adalah kesehatan Anin. Perasaannya sendiri bisa menunggu.

"Semoga cepat sembuh, Nin," bisiknya pelan sebelum melanjutkan bacaannya, tetap berada di sisi Anin sepanjang hari itu.

---

Sore itu, kamar rumah sakit mulai terasa lebih sunyi, cahaya matahari yang tersisa hanya menyinari sebagian kecil ruangan. Arlan duduk di samping tempat tidur Anin, memperhatikan setiap gerakannya dengan saksama. Perlahan, Anin mulai membuka matanya, terlihat lelah, namun tersenyum ketika melihat Arlan masih ada di sana.

"Kamu belum pulang?" Anin bertanya pelan, suaranya serak tapi lembut.

Arlan tersenyum tipis, lalu menggeser kursinya lebih dekat. "Belum, aku ga bakal pulang sebelum kamu bener-bener baik."

Anin terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangannya, meraih tangan Arlan yang ada di pinggir tempat tidur. "Ga perlu sampai aku baik Arlan, kan kamu besok harus sekolah. Kamu udah makan kan dari pagi? Tadi udah?"

Arlan membalas genggaman itu dengan lembut, jari-jarinya mengelus punggung tangan Anin. Dia menatap Anin dengan penuh perhatian. "Aku cuman pengen kamu istirahat Anin, ga usah mikirin apa-apa sekarang, Nin. Aku udah makan ko tenang sekarang mau kamu istirahat. Aku ada di sini buat kamu."

Anin menarik tangan Arlan lebih erat, kemudian pelan-pelan menggeser posisi tubuhnya sedikit, membuat jarak mereka semakin dekat. "Makasih ya, karna ada kamu aku ngerasa tenang," katanya, matanya mulai berkaca-kaca, tapi bibirnya masih tersenyum manis.

Arlan tersentuh oleh kata-kata Anin. Dia lalu merapatkan kursinya, hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. "Aku ga bakal kemana-mana, kok. Palingan aku pulang hahahaha. Tapi, aku di sini buat kamu, selalu."

Anin tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Dia memiringkan kepalanya sedikit, menatap Arlan dalam-dalam, dan berbisik, "Tolong, jangan pergi ya?"

Arlan mengangguk, matanya tetap terpaku pada Anin. Dengan lembut, dia mengusap pipi Anin menggunakan ibu jarinya. "Aku ga akan pergi. Kamu ga bakal sendirian lagi, aku janji."

Love is a wound [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang