¹⁵ Terungkap semua

5 3 0
                                    

            Pagi itu, saat Anin masih di rumah sakit, berita besar mengguncang dunia sosial mereka. Rumor tentang Natasya yang hamil di luar nikah dan telah menikah diam-diam, namun tetap berpura-pura sebagai siswi sekolah, mulai menyebar dengan cepat. Berita itu muncul di berbagai grup media sosial, memicu perbincangan heboh.

Arlan yang baru saja pulang untuk mengambil beberapa barang penting, sudah mengetahui kabar itu sejak subuh dari teman-temannya. Matanya sempat terpaku pada layar ponselnya, membaca berbagai komentar yang semakin liar berkembang. Natasya yang selama ini dikenal sebagai sosok sempurna di mata masyarakat, kini tersudut oleh gosip yang bisa menghancurkan reputasinya.

"Akhirnya kebongkar juga," pikir Arlan sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tas. Namun, meski hatinya sedikit lega melihat Natasya kena batunya, dia tidak bisa menutupi kekhawatirannya pada Anin. Bagaimana pun, Anin pasti akan terseret dalam drama ini, mengingat sejarah hubungan mereka.

Tanpa membuang waktu, Arlan langsung kembali ke rumah sakit. Saat ia tiba di kamar Anin, gadis itu masih tampak lelah, namun lebih tenang daripada semalam. Senyum tipis terlihat di bibir Anin ketika Arlan masuk.

"Pagi, Arlan," sapanya pelan.

"Pagi, Aninn. Gimana perasaan kamu?" tanya Arlan lembut, meski pikirannya terganggu oleh berita yang baru saja dia ketahui.

"Udah lumayan baik. Mungkin hari ini aku bisa pulang?" Anin mencoba bangkit sedikit dari tempat tidurnya.

Arlan mengangguk, tapi matanya tak bisa lepas dari ponselnya. Anin menyadari gerak-gerik Arlan yang sedikit gelisah.

"Ada apa, Arlan? Kayaknya kamu nggak tenang."

Arlan terdiam sejenak, mencoba mencari cara untuk memberitahu Anin tanpa menambah beban pikirannya. "Ada sesuatu yang perlu kamu tau, Nin, tapi jangan kaget, ya?"

Arlan menatap Anin dengan serius, sambil menyerahkan ponselnya. "Lihat ini,"

Anin meraih ponsel Arlan, matanya langsung tertuju pada layar. Berita tentang Natasya yang hamil di luar nikah dan menikah secara diam-diam terpampang jelas di sana. Tangan Anin gemetar saat membaca komentar-komentar yang menghakimi Natasya.

"Wah, beneran terjadi..." Anin berbisik pelan, masih tidak percaya. Ia menelan ludah, berusaha memahami informasi yang mendadak ini. Perasaannya bercampur aduk antara terkejut dan lega. Bagian dari dirinya merasa senang karena akhirnya kebenaran keluar dan Natasya tidak bisa lagi berpura-pura. Namun di sisi lain, ada rasa simpati yang mendadak muncul di hatinya.

"Natasya..." gumam Anin, matanya menerawang. Dia teringat semua momen buruk yang dialaminya karena Natasya. Meski begitu, di balik segala kekejaman yang Natasya lakukan, Anin merasa bahwa dia juga korban dalam situasi ini. Korban dari kebohongan Daniel.

Arlan mengamati ekspresi Anin yang tampak bingung. "Anin, kamu ga perlu merasa bersalah karena ini. Natasya udah terlalu sering nyakitin kamu."

Anin menghela napas panjang, masih memegang ponsel Arlan erat-erat. "Aku tau, Arlan... tapi di sisi lain, Natasya juga hanya korban dari Daniel. Dia mungkin marah dan melampiaskannya ke aku, tapi semua ini karena Daniel yang terus-terusan membohongi dia juga."

Arlan mengangguk pelan, memahami perasaan Anin. "Ga pokoknya semua ga benar, Nin. Apapun itu ga ngebuat apa yang dia lakuin ke kamu jadi benar. Natasya udah nyakitin kamu dengan caranya sendiri, dan sekarang, ini semua akibat dari pilihan mereka berdua. Bukan salah kamu."

Anin termenung, pandangannya jauh. Ia merasakan campuran emosi yang aneh senang karena tidak perlu lagi dibayangi Natasya, tapi juga sedikit iba karena tahu bagaimana rasanya terseret dalam kebohongan dan permainan Daniel.

"Entah kenapa, aku merasa lega... tapi juga kasihan sama Natasya. Dia ga layak buat dibohongi seperti itu, tapi aku pun. Aku tau dia nyakitin aku, tapi ga seharusnya dia diseret ke situasi ini." Suara Anin bergetar, menunjukkan bahwa ia merasakan simpati yang tulus meski ada luka di hatinya.

Arlan mendekat, menggenggam tangan Anin dengan lembut. "Kamu memang selalu baik, Nin. Kamu bisa ngeliat sesuatu dari sisi yang orang lain ga bisa lihat. Tapi ini bukan tanggung jawab kamu. Kamu udah cukup tersakiti karena drama mereka, sekarang saatnya kamu tenang."

Anin tersenyum lemah, lalu meletakkan ponsel Arlan di sampingnya. "Aku cuma berharap setelah semua ini, Natasya sadar kalau hidup ga bisa terus-terusan dibangun di atas kebohongan. Mungkin sekarang dia akan melihat kenyataan."

Arlan mengangguk. "Dan kamu juga. Kamu berhak untuk bebas dari bayangan mereka, Anin."

Anin menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan rasa bersalah yang tak seharusnya ia rasakan. "Mungkin, ini memang cara semesta untuk menyelesaikan semuanya. Aku harap semua ini benar-benar selesai."

Arlan tersenyum lembut, menatap Anin dengan tatapan penuh kehangatan. "Aku yakin ini awal dari kehidupan yang lebih tenang buat kamu, Anin."

----

Ketika Anin masih merenung, ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdebar kencang Natasya. Arlan yang duduk di sampingnya langsung melihat, merasa waspada.

"Kenapa dia nelpon?" Arlan bertanya dengan nada waspada.

Anin ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser layar dan menjawab telepon itu. Belum sempat Anin menyapa, suara Natasya langsung meledak di ujung sana.

"Kamu puas sekarang, Anin?! Ini yang kamu mau, kan? Kamu sengaja nyebarin semua ini biar aku hancur!" Suara Natasya terdengar penuh amarah, tanpa memberikan kesempatan sedikit pun untuk Anin menjelaskan.

Anin tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksud kamu, Natasya? Aku ga tau apa-apa soal ini!"

"Jangan pura-pura ga tau! Kamu pasti seneng banget lihat aku jadi bahan gosip seluruh sekolah. Ini semua gara-gara kamu!" Natasya memaki lagi, nadanya semakin meninggi. "Kamu selalu cemburu sama aku, kan? Makanya kamu seneng kalau aku jatuh seperti ini!"

"Natasya, denger dulu-" Anin mencoba menjelaskan, tapi Natasya memotongnya lagi.

"Gaa! Semua orang tau kamu yang paling benci aku! Aku ga akan kaget kalau kamu yang bikin semua ini! Sekarang aku hancur gara-gara kamu! Kamu ga akan pernah ngerti gimana rasanya jadi aku!" Natasya terus menyalahkan Anin tanpa memberi ruang untuk klarifikasi.

Anin merasa hatinya sakit, bukan hanya karena tuduhan itu, tetapi karena Natasya benar-benar percaya bahwa Anin ada di balik semua kekacauan ini. "Natasya, aku ga pernah ingin ini terjadi sama kamu. Aku juga ga tau apa-apa soal gosip itu. Ini bukan salahku."

Namun, Natasya tak peduli. "Sudahlah, Anin. Jangan berpura-pura jadi korban! Kamu selalu ingin lihat aku hancur dan sekarang kamu berhasil. Tapi ingat ini kamu bakal kena akibatnya juga!"

Setelah itu, telepon langsung terputus. Anin menatap kosong ke layar ponselnya yang kembali gelap, sementara jantungnya masih berdebar kencang.

Arlan yang sejak tadi mendengarkan, menyentuh bahu Anin lembut. "Kamu baik-baik aja, Nin?"

Anin hanya bisa menghela napas, merasa campuran perasaan antara kecewa dan marah. "Dia benar benar nyalahin aku? Arlan, Padahal aku ga tau apa-apa soal ini."

Arlan menggeleng pelan. "Dia cuma lagi kalut, Nin. Natasya ga bisa nerima kenyataan, jadi dia cari orang buat disalahin. Itu bukan salah kamu."

Anin merasakan air mata menggenang di matanya, tapi ia menahannya. "Aku cuma ga ngerti kenapa dia selalu harus nyalahin aku?"

"Karena kamu mudah dijadikan kambing hitam, Anin. Tapi kamu ga perlu dengerin dia. Kamu tau kamu ga salah, dan itu yang penting," jawab Arlan lembut, berusaha menenangkan hati Anin.

Anin mengangguk, meski perasaannya masih kacau. Natasya memang sudah jatuh, tapi sepertinya luka di antara mereka masih belum benar-benar sembuh.

----

TBC

-
-
-

Natasya berulah lagi yaaa!!! Padahal Anin kan sakit😔

Love is a wound [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang