[40]. Dandelion (3)

315 64 1
                                    

Suara jam dinding berdentang menunjukkan pukul 11 malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara jam dinding berdentang menunjukkan pukul 11 malam. Rumah sudah sunyi, kecuali cahaya lampu di ruang tamu yang masih menyala redup.

Halilintar membuka pintu depan dengan pelan, berusaha agar tak menimbulkan suara. Tadi Halilintar sempat kerumah Solar dulu karena tidak ingin pulang cepat, dia malas berada di rumah terlalu lama karena menurutnya rumah sudah seperti neraka dunia sekarang.

Namun, langkah kaki Halilintar terhenti saat mendapati ayahnya berdiri di ambang pintu ruang tamu dengan ekspresi dingin dan tatapan tajam yang membuat nyali Halilintar menciut seketika.

"Kenapa baru pulang sekarang?" Suara Amato terdengar datar, namun penuh ancaman. Matanya menatap tajam, seolah menembus setiap alasan yang mungkin disiapkan Halilintar.

"Aku—" Halilintar mencoba menjawab, tetapi Amato memotong ucapannya.

"Siapa yang ngajarin kamu  buat keluyuran sampai selarut ini? Mau jadi apa kamu, hah?!" sentak Amato, kilatan tajam terlihat jelas di matanya.

"Ayah, aku nggak—" tubuh Halilintar membeku. Rasa nyeri menjalar begitu tamparan keras mendarat di pipi kirinya.

Harusnya Halilintar sudah mulai terbiasa dengan perlakuan Amato. Namun, Halilintar tidak bisa, karena setiap kali Amato melakukan tindak kekerasan padanya, hatinya selalu sakit, bahkan lebih sakit dari fisiknya.

"Kamu udah berani ngelawan Ayah sekarang?" Amato menarik kerah baju Halilintar hingga tubuh ringkih itu ikut terangkat karena perbedaan tenaga yang terlalu besar.

Halilintar menggeleng, dia meronta ingin dilepaskan.

"Kamu ini anak pertama, Halilintar! Harusnya kamu menjadi contoh yang baik buat adik—adik kamu, bukannya malah begini!" cecar Amato marah.

Anak pertama, contoh yang baik. Dua kata yang selalu Amato katakan padanya ketika marah. Halilintar juga tahu tanpa harus diberi tahu berkali—kali, dia sudah melakukan yang terbaik untuk menjadi kakak dengan melupakan kemarahan di masa lalu pada Gempa dan Taufan.

Tapi, kenapa Amato masih menutup mata padanya. Kenapa Halilintar tidak pernah dianggap. Padahal Taufan juga hanya lahir beberapa menit setelah dia, tapi kenapa perlakuan Amato tetap berbeda.

"Aku harus apa, Yah? Jadi sempurna? Itu yang Ayah mau? Aku juga manusia, aku juga punya hati. Kenapa Ayah sampe segitunya?" mata Halilintar memanas sedikit berkaca—kaca siap menumpahkan tangisan kapanpun.

"Aku juga udah berusaha berperan jadi seorang kakak, Yah! Aku yang kaku karena gak pernah Ayah ajarin cara memberi kasih sayang ini udah berusaha buat menyayangi adik—adik aku!" suara Halilintar naik satu oktaf lebih tinggi, dia tahu melawan orang tua termasuk perbuatan yang salah, namun Halilintar juga punya batas kesabaran.

"Atau, Ayah marah karena Gempa?" Halilintar memegang tangan Amato yang masih mencengkram kerah bajunya, ia meremas tangan kekar ayahnya menusuk lengan itu dengan kuku—kuku jarinya.

[✔] HEY TWINS! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang