dibawah meja makan 🔞

57.2K 204 0
                                    

Duduk di kursi makan bersama keluarga barunya, Naya benar-benar merasa tidak nyaman dengan tatapan pria yang duduk tepat di hadapannya. Namanya Mark, si putra sulung. Sejak awal kedatangannya, memang hanya pria itu yang memberi sambutan kurang bersahabat. Tidak ada senyuman, tidak ada perkenalan, dan tidak ada pertanyaan basa-basi untuk membangun komunikasi. Yang ada hanya tatapan tajam yang terus tertuju ke arahnya dari sepasang bola mata kelam pria itu.

Menunduk, gadis itu mengunyah dengan pelan, segan sekali bertemu pandang dengan Mark. Benaknya terus menerka makna di balik tatapan si sulung.
Apakah itu sebagai peringatan jika hadirnya tidak diterima?

Belum selesai memikirkan soal sikap aneh sang kakak sulung, Naya tersedak hebat ketika merasakan sentuhan aneh di betisnya. Seseorang yang duduk di sisi kirinya mengangsurkan segelas air mineral yang langsung Naya terima. Pria itu adalah Jendral, putra kedua dengan penampilan berantakan memberi kesan badboy serta aura dominan yang begitu kuat.

"Pelan-pelan makannya, Nay," celetuk Anne, sang mama.

Ketika Naya meneguk air mineral pemberian Jendral, sentuhan dengan gerakan naik-turun di area betis kembali terasa. Kali ini lebih berani, gerakannya sensual membuatnya meremang. Cepat-cepat Naya menjauhkan kaki lalu melirik ke arah Jendral yang menyeringai di sela kunyahannya. Pria itu pelakunya. Dengan menggunakan kaki, Jendral mengelus-elus betis Naya.
Nyatanya meski sudah berusaha menjauhkan kakinya, aksi Jendral tidak berhenti sampai di situ. Pria itu tetap berusaha menggapai betis Naya untuk dielus sebagai salam perkenalan.

"Kak," panggil Naya dengan suara lirih agar tidak menarik atensi yang lain. Yang dipanggil hanya menoleh bersama seringai mesum. Itu cukup membuat Naya diliputi cemas hingga tangannya gemetar.

Urusannya dengan Jendral belum selesai, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh telapak tangan kiri Nathaniel si bungsu yang terlihat makan dengan anteng, mendarat di pahanya. Merasa marah, Naya langsung mengempas telapak tangan kurang ajar itu. Empunya masih terlihat santai-santai saja sehingga tidak mengundang kecurigaan kalau di bawah meja, pria itu sedang melakukan pelecehan.

Hanya sedetik setelah diempas, telapak tangan Nathaniel kembali mendarat di paha kanan Naya. Dengan gerakan pelan, pria itu menarik rok pendek yang berusaha Naya pertahankan namun sia-sia. Tangan Nathaniel begitu bergerak begitu lihay sampai berhasil membuat paha Naya terekspos dan terus digerayangi jari-jari nakalnya.

Melihat tangan Nathaniel tengah bermain-main di paha dalam Naya yang berusaha merapatkan kaki, Jendral tersenyum lantas mengakhiri sesi makan malam. Punggungnya disandarkan di kursi lantas tangan kirinya memegang apel untuk dinikmati sebagai pencuci mulut. Tertarik dengan sesuatu di bawah meja, pria itupun mengikuti apa yang Nathaniel lakukan. Di sela kunyahan apelnya, tangan kanan pria itu dijatuhkan di paha Naya.

Nathaniel saja sudah membuat Naya kewalahan, kali ini ditambah tangan Jendral yang bahkan berani mencubit lalu menekan gundukan area sensitifnya dari balik celana dalam yang ia kenakan. Bergerak tidak nyaman, Naya ingin menangis atas tindakan kurang ajar dua kakak tirinya yang berani menyusup masuk ke celana dalamnya. Hebatnya dua pria itu tidak menunjukkan hal-hal yang membuat orang lain curiga.

Naya tidak berhenti berusaha untuk menghentikan mereka. Ia terus menepis dan mengeluarkan tangan mereka dari celana dalamnya meski kembali datang. Menatap pada sang mama yang sedang mesra-mesranya dengan sang papa tiri, Naya dibuat bingung harus melakukan apa. Mengadu? Apa ucapannya akan didengar? Diam saja? Didiamkan mereka justru semakin berani.

"Ahhh."
Desahan Naya lolos tanpa mampu ditahan ketika jari tengah Jendral menyapa lubangnya. Belum sampai tertanam sempurna namun kegiatannya terpaksa harus berhenti ketika desahan Naya mengacau. Jari tengahnya yang baru masuk satu ruas pun hanya diam saja di dalam lubang Naya yang mulai basah.

"Kenapa Nay?" tanya Jeffrey, ayah tirinya.

Naya pikir inilah kesempatannya untuk mengadu soal tindakan bejat dua kakak tirinya. Namun belum sampai itu terjadi, tatapannya bertemu dengan tatapan mengerikan penuh peringatan dari Mark. Itulah yang membuat nyalinya menciut. "Ng-nggak papa, Om," jawabnya terbata ketika jari Nathaniel kembali berulah, mengusap klitorisnya. "Lidahnya kegigit."

"Papa, Nay." Anne mengoreksi panggilan Naya pada suaminya. "Masa masih manggil om."

"Maaf, Ma. Aku belum terbiasa."

"Dibiasakan, ya, Nay," pinta wanita yang duduk di sebelah Jeffrey dan Naya pun mengangguk.

"Pelan-pelan aja makannya, Nay. Biar nggak kegigit lagi," pesan Jeffrey sebelum kembali melanjutkan kegiatan makan malam sederhananya namun romantis bersama Anne.

Di antara romantisme pasangan suami istri dan tatapan Marko yang kembali tertuju padanya, ada Naya yang berusaha mati-matian untuk menahan desahannya agar tidak lolos. Kegiatan makan malamnya benar-benar dikacaukan oleh jari-jari biadab Jendral dan Nathaniel.
Mereka baru berhenti ketika Naya mengeluarkan cairan yang membuat gadis itu merasa lemas. Puas dengan kondisi Naya, Jendral dan Nathaniel pun kompak mengulum jari mereka yang berlumur cairan Naya sebelum bangkit meninggalkan ruang makan lebih awal.

"Naya?" panggil Jeffrey merasa aneh pada anak tirinya.

"Ah iya, Pa?"

"Kamu nggak papa?"

"Umm. Aku nggak papa." Naya jelas berbohong. Jelas ia tidak baik-baik saja setelah apa yang dua kakaknya lakukan.

"Beneran?"

"Iya," jawabnya lalu merapikan rok pendeknya yang kusut. Sudah kehilangan nafsu makan, gadis itu pun memilih menyudahi makan malamnya. Sungkan jika langsung pergi, ia pun menumpuk piring kotor Jendral dan Nathaniel untuk dicuci.

"Nanti biar Mama aja yang beresin, Nay," kata Anne.

"Nggak papa, Ma. Biar aku aja," tolaknya lantas membawa tumpukan piring kotor itu menuju wastafel.

Tidak lama setelahnya, Anne menyusul membawa piring kotornya beserta Jeffrey. Mulanya wanita itu hendak mencucinya sendiri, namun Naya mengambil alih dan meminta sang mama untuk langsung istirahat saja.

"Mama nggak capek kok, Nay. Biar Mama aja."

"Mama," erang Naya tidak suka dibantah. "Aku aja, ya? Mama nyantai aja sama papa. Mama, kan, udah masak. Biar aku yang cuci ini."

"Makasih udah bantuin, ya, Nay."

"Sama-sama," kata Naya.

Sedang sibuk mencuci piring-piring kotor, Naya berjengit kaget ketika seseorang di belakangnya meletakkan piring kotor di bak pencucian.
Bukan itu yang membuatnya kaget melainkan jarak yang terlalu dekat sampai permukaan dada pria itu bersentuhan dengan punggungnya.
Meski tidak menatapnya secara langsung, namun Naya tahu jika pria itu adalah pria yang sepanjang makan malam terus menatapnya; si sulung Mark.

"Sekalian cuciin," kata Mark.

"I-ya, Kak." Naya kembali diserang rasa cemas ketika Mark tidak kunjung menjauh.

Tubuhnya menegang hebat ketika tiba-tiba pria itu menampar keras pantatnya disusul remasan kuat di sana. Tubuh Naya kembali gemetar takut sampai ia harus mencengkeram kuat tepi wastafel sebagai pegangan.

Sebelum pergi, Mark menggesekkan selangkangnya ke pantat Naya bersamaan dengan tangannya yang berani menyusup ke kaus longgar gadis itu dan melepaskan pengait bra. Berpindah tempat, tangan besar Mark berhasil menguasai kedua buah dada Naya dan memainkannya; meremas, mencubit dan memilin putingnya. Bibirnya tidak tinggal diam, mengecupi tengkuk Naya. Sesekali meninggalkan jejak di leher jenjang gadis yang terisak dan memohon padanya untuk berhenti.

Cukup untuk malam ini, Mark berhenti lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa usai meloloskan ikat rambut Naya untuk menutupi jejak yang ditinggalkan di leher gadis itu.

***

Crazy Family Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang