14

667 93 12
                                    

Warning!

Cerita ini hanyalah fiksi belaka, tidak ada sangkut paut secara nyata untuk nama-nama yang digunakan.

Dilarang keras menyebar luaskan isi dari cerita terutama pada bagian sensitif.

Tidak disarankan untuk para homophobia.

Tidak untuk ditiru!

Rate 17+

Jangan lupa like & komen

~ Selamat Menikmati

✧SELLA✧

Frey akhirnya menemukanku, di minimarket yang tak terlalu jauh dari restoran itu. Dengan serius dia menjelaskan bahwa Thia sudah mengetahui segalanya. Itu cukup menohok. Harusnya aku yang mengungkap fakta itu. Huft, pecundang bodoh.

Frey yang menceritakan semua, aku sempat kesal karena hal ini. Tak seharusnya dia menceritakan apa yang selama ini ku simpan. Aku takut Thia akan salah paham setelah ini. Satu hal yang aku tau, yang cukup membuatku tidak percaya adalah Frey mengatakan bahwa Thia juga menyukaiku. Entah suka dalam konteks seperti apa yang dimaksud karena faktanya tadi aku melihat Thia dan Vikar berciuman. Aku semakin tidak mengerti.

Sekarang, aku sudah kembali ke apartemen Thia. Di sana Thia tergeletak di atas kasur, terlihat sangat amat lelah. Aku masih dalam kondisi sedikit mabuk, setidaknya aku masih bisa diajak mengobrol dan memberikan jawaban logis. Perlahan, aku duduk di tepi kasur, mendekat diri ke arahnya. Jari-jariku menyentuh kulitnya yang dingin, namun dia belum sepenuhnya sadar ku rasa. Aku tidak tega melihatnya seperti ini. Terlebih matanya sembab, bekas air mata pun masih tercetak di sana. Ini pasti karena aku. Paras ayu miliknya harus sedikit tersingkirkan oleh sembab tangis.

Aku beranjak menuju kamar mandi, membiarkan air dingin mengguyur tubuhku, berharap bisa membangunkan kesadaranku yang masih terasa kabur. Hanya di sini, di bawah aliran air yang dingin dari shower, aku bisa bernafas sedikit lebih lega. Tapi, perasaan itu tetap saja mengekang seperti kawat duri. Aku bisa terluka karena rasa sukaku.

Aku semakin tenggelam dalam kebingungan tentang apa yang terjadi di antara kami. Melihat Thia mencium Vikar tadi, ya, itu menghancurkanku. Tetapi mengetahui bahwa dia menangis karena ku, merasa aku tidak peduli padanya itu lebih menyakitkan. Rasa bersalah menghantamku begitu keras. Kenapa semuanya terasa begitu sulit? Kenapa aku tidak pernah bisa jujur padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi?

Setelah beberapa saat, kesadaranku kembali sepenuhnya. Tubuhku mulai terasa dingin. Aku mengambil handuk, membungkus diriku dengan cepat, dan bergegas keluar dari kamar mandi. Namun, baru satu langkah aku sudah di kejutan olehnya yang ternyata berdiri di depan pintu kamar mandi. Tubuh mungilnya tampak kacau dengan dandanan yang sudah tak berbentuk. Ini salahku.

"Aku bantuin ganti baju ya," aku menawarkan bantuan, dia tak menjawab. Mata yang masih terlihat sayu itu menatap lurus padaku. Hingga aku sadar mata indah itu mulai berkaca-kaca. Aku berusaha memahami arti tatapannya hingga aku benar-benar dibuat paham.

Plak!

Aku terdiam cukup lama, aku tidak menyangka dia akan menamparku sekeras itu. Jantungku sempat berhenti sejenak, tapi selanjutnya kembali berdebar lebih kencang, rasa takut mulai menyelimutiku. Mataku sudah tak bisa menahan tangis. Aku berusaha menatapnya sekuat tenaga. Hingga air mata meleleh di atas pipiku. Sama halnya dengan dia.

"Puas?! Puas bikin batinku menderita karena kamu sembunyiin fakta sebesar itu dari aku?!" Bentakannya membuatku tak bisa berkutik. Pecundang ini sudah kalah telak. Aku hanya bisa menerima setiap amukannya sekarang.

Scandalous 2 (Greesel x Cynthia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang