Chapter 07 ; Konflik

12 2 0
                                    

Beberapa saat setelah Julian pergi dari rumah Gendis, Gendis pun berinisiatif mengajak Lunatha untuk masuk kedalam rumahnya dan mulai berbincang-bincang.

"Eh Dis, kok Julian bisa sampai sini?" Tanya Lunatha penasaran.

"Jadi, tadi tuh kita ngga sengaja ketemu dijalan, terus kebetulan kita juga sama-sama mau ke minimarket, yaudah deh kita jalan bareng aja. Dia sendiri malah yang mau anterin aku sampai rumah." Jelas Gendis.

"Widih, berarti nih kalian udah temenan?"

"Iyaa Luna, kita udah temenan."

"KEREEEENNN!! Ternyata orang kayak Julian mau temenan juga ya." Ucap Lunatha sembari bertepuk tangan karena takjub.

"Udah aku bilang kan, sebenernya Julian tuh baik." Balas Gendis.

"Kapan kamu bilang kayak gitu?" Lunatha merasa Gendis tak pernah mengatakan hal tersebut.

"Gatau sih aku, lupa."

"Gak pikun kalau bukan Gendis." Ejek Lunatha.

"Sekarang aku tanya, kamu ngapain tiba-tiba kesini?" Tanya Gendis.

"Gapapa sih, aku sebenernya bosen aja weekend ngga tau mau kemana, jadi ke rumah kamu aja. Boleh kan?"

"Ahahaha iyaaa boleh dong, kenapa harus ngga boleh? Sebenernya aku juga bosen."

Hal-hal random pun akhirnya terjadi di rumah Gendis. Segala hal yang menurut mereka menarik akan mereka lakukan.

ׄ▭ׅ ▬ׄ ▭ׅ ▬ׄ ▭ׅ ▬ׄ ▭ׅ ▬ׄ ▭ׅ ▬ׄ

"Aku pulang." Ucap Julian sembari membuka pintu rumahnya.

"Masih inget rumah kamu rupanya." Balas ayah Julian dengan nada ketus.

"Apasih pah? Aku baru aja keluar sebentar. Abang main lama aja gak dimarahin? Kenapa aku dimarahin? Beda-beda in aja terus." Julian malas sekali jika harus beradu mulu dengan ayahnya.

"Berani kamu ngelawan papa?"

"Kenapa harus takut? Daripada papa beraninya sama cewek doang." Sindiran keras keluar dari mulut Julian.

BRAAKKK

Karena tersulut emosi, ayahnya pun menggebrakkan tangannya ke meja. "Kamu harusnya sadar diri! Papa biarin abang kamu pergi main lama karena itu sepadan sama belajarnya, gak kayak kamu! Kamu cuma anak bodoh yang selalu jadi beban!"

Hati Julian mencelos mendengar perkataan ayahnya. "Iya! Aku tau! Aku tau aku beban, sekarang aku tanya balik pah! Kenalan dulu aku gak dikasih ke panti asuhan aja? Papa pikir aku gak capek hidup kayak gini? Aku capek pah, batin aku kesiksa."

"Cuma masalah aku keluar rumah aja dipermasalahin, gimana masalah yang lainnya?" Lanjut Julian.

"Diem! Kamu emang gak jauh beda sama bunda kamu."

"Emang! Aku emang gak jauh beda sama bunda, paling sebentar lagi nasib aku juga sama kayak bunda, mati di tangan ayah sendiri." Balas Julian yang sudah tidak peduli dengan situasi sekarang.

"Maksud kamu?" Tanya ayah Julian kebingungan.

"Aku tau semuanya kok pah, cuma waktu itu aku terlalu polos buat dapetin sebuah bukti. Andai waktu itu aku punya bukti, mungkin papa sekarang udah dipenjara!" Ucap Julian dengan emosi yang memuncak.

"Dasar anak nakal!"

PLAAKKK

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Julian. Panas, pipi Julian memerah, terlihat jelas bekas tamparan yang ayahnya hasilkan. Julian dengan spontan langsung memegang pipinya, dan menahan air matanya agar tidak jatuh. Julian tak ingin terlihat lemah dimata siapapun.

"Wow... Sama persis kayak yang papa lakuin ke bunda dulu ya."

Matilda [ Lee Juyeon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang