10. Menyebrangi Ombak

31 12 9
                                    

"Cincin yang bagus," ucap Kaleo langsung duduk bersila di hadapan Rui. Mereka kini sedang menyebrang menggunakan kapal layar menuju Kota Hofoi yang berada di seberang benua.

Rui, yang tengah sibuk menahan dirinya untuk tidak muntah—tidak biasanya ia mabuk laut—dengan menutup mulutnya menggunakan sebelah tangan, hanya mengangguk samar. Cincin pemberian Jia nampak jelas bertengger di jemarinya, dan warnanya memang cukup kontras.

"Cincin keberuntungan?" Kaleo bertanya, ia memperbaiki posisi duduknya, menawarkan sepotong roti yang baru ia keluarkan dari dalam tasnya. Rui menolak.

"Hanya cincin biasa," balas lelaki itu, rasa mualnya perlahan berangsur sirna.

Kaleo mengangguk, ia menggigit rotinya dan memperhatikan keramaian di geladak dengan netra berbinarnya. Sedetik setelah ia menelan roti itu, ia pun kembali bersuara, "Aku melihat beberapa orang Yafen ketika di pelabuhan. Mungkin utusan Yafen sudah tiba? Mungkin mereka berada di kapal ini."

Rui hanya mengangguk, membalas ucapan Kaleo asal. Memangnya apa peduli Rui jika memang utusan Yafen sudah tiba dan bahkan berada di kapal yang sama dengannya? Toh, tidak akan memberikan pengaruh besar bahkan meskipun mereka memang berada di kapal ini.

Maksud Rui, apakah sungguh akan ada perubahan? Tidak.

Setelah merespons ucapan Kaleo hanya dengan anggukan, rupanya itu membuat Kaleo melanjutkan ucapannya dan beralih menjadi ocehan yang membuat Rui menyesal seketika. Seharusnya ia muntah saja agar Kaleo bisa diam barang sejenak.

Permasalahannya adalah, ombak rupanya tengah mencoba menguji kemampuan Rui dalam menahan diri. Terasa jelas dari atas geladak ini bagaimana ombak membuat kapal ini bergerak mengayun tiada henti dan ...

Ya, Rui mual lagi. Buru-buru ia menunduk dan menutup mulutnya, abai atas ucapan apa saja yang tengah Kaleo lontarkan.

Selang beberapa saat hingga suara langkah terdengar mendekat, memaksa Rui untuk menengadah hanya demi melihat siapa gerangan yang datang.

Kaeso dan Teo tiba dan duduk begitu saja, menciptakan lingkaran yang menghadirkan Rui juga Kaleo di tempat. Baik Rui maupun Kaleo menaikkan kedua alisnya, jelas Rui tahu mengapa Kaleo seperti itu—ia sulit beradaptasi dengan cara kaku Teo Eliade berbicara.

Sedangkan Rui? Jelas. Ada Kaeso di sini. Melihat wajah Eiraden yang terpatri pada rupa lelaki itu saja sudah membuat Rui ingin memejamkan mata dalam waktu yang lama. Bukan bermaksud mengkotak-kotakkan seseorang berdasarkan penampilannya, tapi sungguh, demi Tuhan, seseorang harus melihat Kaeso langsung melalui bola mata Rui.

Ia tampak sangat menyebalkan.

"Kenapa kau kemari?" Rui berbicara, mendelik geram ke arah Kaeso.

Lelaki itu menaikkan kedua alisnya, ia lalu terdiam mencari jawaban yang pas. Netranya melirik ke sekitar, barangkali jawaban yang tepat bisa ditemukan dari sana. Tapi tidak. Tak ada jawaban yang bisa Kaeso lontarkan.

Rui bertanya kenapa, dan pertanyaan kenapa itu membutuhkan jawaban berupa alasan.

Tak ada alasan. Kaeso tidak memiliki alasan untuk datang mendekati lelaki Ihuan ini juga lelaki Anera. Oh, Teo sendiri, ia memang hanya mengekorinya saja, tidak ada hal lain.

"Aku tak boleh kemari?" Kaeso melontarkan pertanyaan balik.

Rui yang mendengar pertanyaannya justru dibalas dengan pertanyaan lain sontak mendengkus, "Tidakkah kau lihat geladak ini sangat luas?"

Kaeso mengangguk, "Benar. Mungkin kita akan menggunakan kapal sebesar ini?" Lelaki itu langsung membelokkan arah pembicaraan, dan nampak jelas dari sudut netranya, Rui menyadari hal itu dan hanya menghela napas.

ERYNDOR: Tales Of Sentinel GiftsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang