00. Prolog

128 61 6
                                    

"Di tengah hamparan tanah yang rapuh,
terbaringlah dataran yang hilang,
terlupakan oleh waktu
dan diliputi oleh bayang-bayang
yang tak berujung."

═══

═══════

═══════════════

════════════════════════

Darla mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya gadis itu sadar sepenuhnya. Ia melirik ke sekitar, cahaya mentari berhasil menelisik dari sela-sela tirai yang menutupi keseluruhan ruangannya. Hari sudah pagi, dan ia mesti melakukan kesehariannya sama seperti hari-hari sebelumnya.

Aneh sekali, dalam mimpi tadi Darla tiba-tiba teringat akan nyanyian yang Neneknya dulu senantiasa senandungkan agar gadis itu bisa tertidur lelap. Nyanyian yang aneh, berbeda dari bagaimana cara Neneknya bersenandung merdu, lirik dari nyanyian itu terdengar menyeramkan.

Seolah peringatan akan murka yang telah menghukum sesuatu, atau seseorang, atau sebuah tempat.

Pagi kali ini pun cukup hening, tak biasanya sehening ini. Belum ada interaksi sedikitpun, mungkin itulah yang membuat Darla sedikit heran.

Gadis itu meregangkan badannya, sedetik kemudian hingga pintu utama kamarnya terbuka lebar, dan banyaknya pelayan langsung berbaris memasuki ruangannya, mereka menunduk tak berani menatap wajah Darla tanpa seizinnya.

Hal yang terasa sedikit menyedihkan tiap kali Darla mengingatnya. Gadis itu mengangguk pelan, tak berucap sepatah katapun melainkan hanya melangkah melewati mereka semua.

Sekian detik Darla berjalan melewati lorong panjang kuil yang nampaknya tak berujung, gadis itu terdiam tiba-tiba. Telinganya berdengung kencang, jantungnya terasa berhenti di tempat, ia sesak napas. Ada gelenyar rasa panas dari ujung-ujung jemari dan pandangannya, membuat Darla dengan cepat menoleh ke arah timur.

Ada sesuatu yang terjadi. Aentith sama sekali belum menemui Darla, lantas sinyal macam apa yang gadis itu terima sekarang ini?

Pohon Pertama.

Ia memanggil Darla.

Benar.

Gadis itu menarik gaun tidurnya hingga selutut, tanpa alas kaki ia berlari ke arah timur, membuat para pelayan yang mulanya berjalan mengekor sontak terkejut, tetapi pada akhirnya mereka mengerti apa yang hendak dilakukan oleh Velatds mereka.

Ia akan menemui Pohon Pertama, dan tak boleh ada seorangpun mendatangi wilayah Pohon Pertama tanpa seizinnya.

Tentu saja, bukan pohon raksasa yang selama ini umum didatangi oleh banyak orang, melainkan Pohon Pertama yang sesungguhnya yang bersembunyi di dalam pohon raksasa.

Para pelayan itu terdiam menyaksikan Darla berlari menginjak rumput di taman, sedetik kemudian hingga wujudnya tiba-tiba raib dari pandangan. Salah satu ketua pelayan di sana memberi titah kepada pelayan yang lain untuk menanti saja di tempat ini.

"Sepertinya ada sesuatu yang penting yang akan dikabarkan pada kita ...." gumam wanita tua itu pelan.

Wanita itu tidak salah. Sesuatu yang berkaitan dengan Darla pastinya akan berkaitan dengan Pohon Pertama ataupun Aentith. Ia adalah saintess yang dimiliki Eryndor, perantara dan jembatan bagi manusia yang menghidupi dataran ini dengan sebuah entitas tak kasat mata yang melindungi Eryndor.

Darla tiba di dalam pohon raksasa, danau di dalam danau. Ruangan dengan sumber cahaya yang menjulang di atas—di puncak pohon raksasa.

Ada banyak alasan mengapa Pohon Pertama bersembunyi di dalam tempat ini, salah satunya tentu saja keamanan. Ini adalah jiwa bagi Eryndor, bagi Dunia. Bagi keseluruhan yang ada.

Jemari kaki Darla perlahan menyentuh genangan air di sekitar Pohon Pertama, jantungnya masih berdetak tak beraturan. Ada hal penting yang pastinya sebentar lagi akan disampaikan oleh Aentith padanya.

Dia adalah penjaga Pohon Pertama, pastinya ia lebih memahami Pohon Pertama daripada dirinya.

"Nak."

Langkah Darla terhenti. Itu suara Aentith.

"Cepat kumpulkan Dewan Pengikat. Mereka harus mendengar kabar ini langsung dari lisanmu."

Lidah Darla terasa kelu, ia tidak bisa berucap apapun, berakhir ia akhirnya hanya mengangguk. Di depan sana, Pohon Pertama tengah bercahaya redup, ada sesuatu yang sepertinya hendak terjadi pada Eryndor ataupun Dunia.

Gadis itu melangkah perlahan, tak lagi mengangkat gaun tidurnya, dibiarkannya terjatuh dan basah terkena genangan air. Setiap langkah Darla membawa gadis itu pada penglihatan yang perlahan semakin jelas nampaknya.

Jantung gadis itu tak lagi berpacu cepat, tetapi napasnya masih terasa tercekat. Di hadapan Pohon Pertama, gadis itu menyentuhnya dengan tangan kosong, berkontak langsung tanpa pembatas.

Seketika, sebuah dentuman membuat tubuh Darla tersentak. Kesadarannya teralihkan, terseret pada penglihatan keseluruhan dari apa yang Pohon Pertama hendak sampaikan.

Suatu tempat nun jauh dari Eryndor, teramat jauh melewati samudra. Darla melihat sesuatu yang teramat menyayat hatinya. Langit tak lagi tampak cerah di sana, tempat itu tidak ada jauh bedanya dari sebuah kubangan kotor di mana seluruh kejahatan banyak terjadi. Kekacauan menyebar di setiap penjuru tempat.

Itu adalah sarang dari setiap keburukan dan dosa. Tak ada keadilan apalagi keseimbangan antar sesama. Perbudakan, penyiksaan, itu adalah masa yang sangat gelap.

Dalam benak Darla seketika lagi-lagi terdengar suara Neneknya yang bersenandung pelan menyanyikannya lagu tidur.

Di tengah hamparan tanah yang rapuh, terbaringlah dataran yang hilang, terlupakan oleh waktu dan diliputi oleh bayang-bayang yang tak berujung.

Apa maksud dari nyanyian itu? Mengapa rasanya teramat familiar, seolah saling berikatan atas apa yang Darla lihat. Gadis itu tertegun, masih dipenuhi penglihatan di sekitarnya, kesengsaraan dan penderitaan mengelilinginya.

Sejenak hingga Darla kembali terhisap pada realita sebenarnya. Pohon Pertama kembali bersinar seperti sedia kala, hal yang senantiasa terjadi manakala mentari masih bersinar, berganti asap tatkala langit pun menggelap.

"Apa yang kau tunggu, Nak? Cepat sampaikan pesanku, kumpulkan Dewan Pengikat dan lakukan permintaanku."

════════════════════════

═══════════════

═══════

═══






© c h a n o p u s

May, 10
2024.

ERYNDOR: Tales Of Sentinel GiftsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang