19. Bayangan Yang Timbul

9 3 1
                                    

Mentari belum terbit sepenuhnya ketika seluruh awak kapal dibangunkan oleh Halvor agar segera berangkat menuju pusat kota, tempat di mana mereka akan bertemu dengan Ketua dari Dewan Perwakilan yang juga akan bertugas untuk mengawasi keberangkatan pelayaran mereka dalam waktu dekat—yakni esok hari.

Niza mengerjapkan matanya beberapa kali, rasa kantuk masih bersarang nyaman di sana, menjelma dua kelopak matanya yang enggan berpisah dan masih ingin saling bertemu.

“Awas, kau bisa tersandung jika berjalan sembari memejamkan mata seperti itu,” ucap Leo, menarik lengan Niza yang hampir saja terjatuh.

Niza mencoba membuka matanya, kedua alisnya terangkat. Udara dingin membuat rasa kantuk semakin sulit dikalahkan, tanyakan saja pada yang lainnya—Kerim bahkan sudah tersandung beberapa kali sejak tadi.

Niza mengangguk, melepaskan lengannya dari genggaman Leo. Beruntung kali ini Rui tidak terus menempel bersama Leo, sebab lelaki itu justru sedang berjalan di depan sana bersama dengan Teo.

Terdengar kekehan dari Leo, lelaki itu merangkul Niza untuk berjalan di dekatnya. Niza mulanya hendak menolak, sampai Leo kemudian berkata, “Kurasa ada hal buruk yang terjadi antara kau dan dia, eh?” Maksudnya adalah Rui, Niza bisa langsung paham meskipun Leo hanya mengedikkan dagunya ke arah depan.

“Dia brengsek.” Niza terdiam sejenak, “Itu hal bagus karena kau membicarakannya. Aku sudah tak lagi merasa mengantuk.”

Kekehan kembali keluar dari lisan Leo. “Dia hanya bangsawan, bagaimanapun.”

“Justru itulah masalahnya,” balas Niza, ia melepaskan rangkulan Leo dan memilih untuk berjalan mendahului lelaki tersebut, memilih untuk menyusul Lyra yang berjalan beriringan bersama dengan Belial.

“Pagi, Niza. Nampaknya kau sudah tidak lagi berjalan dalam keadaan setengah sadar seperti sebelumnya,” sapa Belial ramah, ia tersenyum hangat.

Niza hanya mengangguk sebagai responsnya, sedangkan Lyra hanya menoleh ke arah Niza dan menaikkan kedua alisnya, kebiasaannya dalam menyapa Niza.

“Tidurmu buruk?” tanya Lyra, berbisik pelan di telinga sahabatnya tersebut.

“Tidak buruk, hanya saja kurang.”

Lyra terkekeh mendengarnya. “Mari kita berdoa setidaknya lima belas hari ke depan kita bisa mendapatkan kualitas tidur yang baik.”

Niza mengangguk, ikut mengamini ucapan Lyra. Sedangkan di sisi lain, Niza bisa menangkap Belial sempat melirik ke arah mereka berdua, sebelum kemudian berjalan mendahului mereka dan entah menghampiri siapa.

“Bagaimana hubunganmu dengannya?” tanya Niza.

Kening Lyra berkerut, menoleh heran pada Niza yang tiba-tiba membahas hubungannya dengan Belial. “Baik. Memangnya kau berharap kami bagaimana?”

Pertanyaan yang Lyra lemparkan balik pada Niza membuat Niza terdiam sejenak. Perasaannya saja atau Lyra nampaknya kurang nyaman jika Niza membahas mengenai Belial? Bukankah Lyra adalah yang pertama kali ribut membicarakan lelaki Zeadrand tersebut?

“Aku berharap kalian baik-baik saja.”

Keheningan kemudian menyeruak mengisi celah jarak di antara keduanya. Niza dan Lyra hanya berjalan beriringan tanpa lagi mengucapkan sepatah kata.

Dari arah timur, mentari terbit sempurna. Memancarkan cahaya dengan begitu percaya dirinya, disertai suara kicauan burung dari kejauhan, juga keramaian yang datang tak lama setelahnya.

Mereka sudah memasuki pusat kota, tempat di mana beberapa gedung dan pusat keramaian berasal. Ini adalah kali pertama bagi Lyra untuk mendatangi tempat ini, setelah sebelumnya tak sempat sebab badai yang datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ERYNDOR: Tales Of Sentinel GiftsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang