Lyra tidak sadar entah sejak kapan ia sudah mengerutkan keningnya. Keadaan akhir-akhir ini sungguh gila, dan Lyra sudah tidak tahu lagi mana hal yang mesti ia keluhkan, karena semua sungguh di luar kendali.
Tidak tertebak.
Mengejutkan.
Ia melirik ke arah Ilsa dengan sorot mata datar. Enam tahun berlalu dan Lyra masih tidak menyangka ia akan bertemu dengan kembarannya lagi. Paman Tvar memang hebat sekali menjadikan Ilsa sebagai syarat baginya untuk mengikuti segala rencana ini.
Terlalu lama Lyra melirik ke arah saudari kembarnya itu, Ilsa rupanya menyadari apa yang Lyra lakukan. Beruntung, sebelum pertanyaan atau ucapan terlontar dari Ilsa, Lyra justru mendengar seruan yang lebih familier daripada suara Ilsa.
"Lyra!" Itu suara Niza, berlari pelan menghampiri Lyra, dan, oh, Niza berhenti tiba-tiba kebingungan sebab ini pertama kalinya ia melihatnya bersama Ilsa.
Meskipun demikian, Lyra enggan membantu Niza, alih-alih justru Ilsa yang menoleh ke arahnya, membuat Niza akhirnya sadar yang mana Lyra yang sebenarnya.
Lyra menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum miring menyambut Niza yang berjalan mendekat. Dari ekor matanya, Lyra sadar bahwa Ilsa pergi menjauh, meninggalkannya.
Ya, bagus. Mereka memang bersaudara, tapi rasanya sungguh tidak nyaman untuk terus menerut dekat satu sama lain. "Yah, pertanyaanku sama banyaknya denganmu, Niza. Sebaiknya kita mencari tempat yang sesuai," ucap Lyra, mengedikkan kepalanya, mengajak Niza untuk berjalan bersamanya.
Niza mengangguk seketika, mengikuti langkah Lyra yang membawanya ke luar wilayah kuil. Ini tidak jauh dari tempat Niza dan kawan-kawannya kemarin berkumpul ketika festival.
Akan tetapi, Lyra tidak kunjung menghentikan langkahnya, membuat Niza mengerutkan keningnya. "Kita akan ke mana?" tanya Niza.
"Aku juga tidak tahu, aku belum pernah datang ke tempat ini." Lyra membalasnya enteng, ia berhenti melangkah dan kini menghadap Niza.
Keduanya saling tatap, sepersekian detik setelahnya hingga keduanya pun saling terkekeh. "Ya, si bodoh membawa si bodoh."
Ucapan Niza itu membuat tawa Lyra pecah seketika, ia akhirnya menarik tangan Niza untuk ikut dengannya, mendekati salah satu bangku di bawah pohon rindang.
Ketika keduanya akhirnya duduk bersebelahan, keheningan justru ikut menemani mereka, tak segan pula mengajak rasa kecanggungan yang anehnya tiba-tiba hadir di antara mereka.
Ini sungguh aneh. Mereka berdua baru saja tak berjumpa selama dua pekan, dan kecanggungan ini persis rasanya seolah mereka tak berjumpa selama dua tahun.
"Siapa yang akan bercerita pertama?" tanya Niza, sebagai yang pertama yang akhirnya memecahkan suasana canggung yang aneh.
Lyra mengedikkan kedua bahunya, "Kau saja dulu. Aku ingin dengar tentang festival dan bagaimana kau belum pulang sampai sekarang."
Niza mengangguk, setuju untuk jadi yang pertama bercerita.
"Kau ingin aku bercerita dari mana?"
Lyra menarik napas sejenak, ia lalu mengerutkan keningnya. "Entah? Kau ceritakan saja berurutan, bagaimana kau tiba, festival, dan bagaimana kau bisa ada di tempat ini."
"Baiklah," balas Niza, ia menyandarkan badannya, bertopang dengan kedua tangannya. "Aku tiba sejak dua hari sebelum festival—entah berapa hari yang lalu. Festival berjalan lancar, tapi aku bertemu dengan ayahku—"
"Ayahmu?" Lyra terperangah, tidak terlalu lama sebab ia akhirnya mengangguk seolah tiba-tiba paham. "Yah, itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan."
"Memang," saut Niza membenarkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ERYNDOR: Tales Of Sentinel Gifts
FantasyKala keseimbangan mesti dipertahankan, bahkan meskipun mengundang banyaknya kesia-siaan. "Terkadang pula kehancuran ialah wajah dari pengampunan sedangkan penyelamatan tidaklah lebih dari sekadar memperpanjang kerapuhan." Alangkah terkejutnya...