.
.
.
"BUKANKAH kau hanya akan membuatnya takut?" Pertanyaan Kurenai pagi ini di meja makan, membuat Naruto menghentikan gerakannya memotong steak di depannya.
"Bukankah seharusnya begitu?" Netra samudra milik Naruto mengarah pada Kurenai, tatapan Naruto menjadi lebih dingin dan bengis semenjak insiden tembakan itu, pun semenjak semalam tak pulang. Entah kemana pria itu pergi, yang pasti nuasana kekelaman kembali hadir, lebih mendominasi dari yang pernah terasa sebelumnya. "Hinata harus tahu bahwa dia hanya boneka dan kendalinya berada di tanganku." Tuturnya.
Kurenai menghela napas, ia melirik pintu kamar Hinata yang tak kunjung terbuka. Wanita itu bahkan tak ikut sarapan, suara cerianya juga tak terdengar.
"Apa yang kau lakukan pada Hinata?" Tanya Kurenai, tak bisa lagi meredam keingintahuannya. Meski sebetulnya ia tahu, Naruto adalah kejam yang juga sedikit gila, semula semua kegilaannya yang seperti ini tertutup dengan sikap tenangnya.
Namun kini, Naruto tak perlu repot-repot lagi menutupinya. Sebab pembangkang seperti Hinata mungkin lebih cocok untuk dipecut agar menurut.
Kurenai tidak setuju.
Jika ia masih seorang bawahan Naruto yang mengemban tugas demi uang, ia tidak peduli apa yang Naruto lakukan kepada tawanannya. Membunuh, memperkosa atau apapun itu yang lebih kejam. Ia tidak peduli.
Tetapi ini Hinata. Wanita yang terlahir begitu feminim dan mungkin berusaha untuk terus ceria ketika kesialan menimpanya, diculik oleh CEO di perusahaan tempatnya bekerja dan dikurung lebih dari setengah tahun, pun harus melakukan latihan-latihan berat. Dengan semua yang Hinata lakukan, wanita itu tetap berusaha santai dan ceria, seolah yang dihadapinya hanya seekor predator bodoh yang terhibur dengan tarian kancil tanpa berpikir ia juga bisa saja menjadi santapan makan malam saat predator itu mulai bosan dan kelaparan.
Hinata adalah wanita nekat.
Pun wanita yang gigih.
Banyaknya waktu yang Kurenai habiskan bersama wanita itu, tak dapat Kurenai pungkiri bahwa ia menaruh rasa iba. Rasa kasihan dan sayang dimana ia mulai khawatir apa yang akan menimpa Hinata ke depannya.
"Apa aku perlu memberitahu aktivitasku kepadamu Kurenai? Siapa dirimu? Ibuku?"
Ucapan itu tak pelak membuat Kurenai mendidih, ia memang bukan orang berkuasa seperti Naruto. Tetapi ia adalah wanita yang lebih tua, mungkin dahulu ia akan takut, tetapi dirinya kini berani untuk menatap Naruto.
"Kau memperkosanya?" Tanya Kurenai telak.
Naruto mendengkus dengan senyum, meraih gelasnya untuk meneguk airnya.
"Sekali lagi, apa aku perlu memberitahunya kepadamu?"
"Apa yang terjadi kepadamu Naruto?"
Naruto terlihat duduk tenang dengan wajah datar tanpa ekspresi yang berarti. "Apa maksudmu? Aku memang seperti ini."
"Tidak, tidak begini sebelum kau pergi setelah insiden tembakkan itu. Apa yang terjadi? Siapa yang kau temui?"
Naruto tertawa pendek. "Kurenai, kau sungguh bukan Ibuku untuk tahu segalanya yang kulakukan. Apa kau mulai merasa berhak ketika kau terlalu lama tinggal di Mansion?"
Kurenai mengepalkan tangannya. Ia memejamkan mata, membuang muka untuk menatap gelasnya sendiri. Ia ingin melempar gelas itu ke arah Naruto atau membantingnya hingga pecah berkeping-keping, ia ingin membunuh keingintahuan di kepalanya ini dan bermuka tembok seperti semula yang bersikap tak ingin tahu apa-apa selain menjalan tugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOOD FLOWER (ON GOING)
FanfictionNaruto dan Hinata bertemu, pada peristiwa naas yang tentu saja merugikan keduanya. Hinata mencuri-dengar pembicaraan terlarang Naruto dengan rekan bisnisnya, sesuatu yang tak boleh di dengar siapapun, tetapi Hinata mengetahuinya. Naas bagi Hinata ad...