11 | HOOLIGAN

990 165 43
                                    

.

.

.

NARUTO menghela napas.

"Dia masih tidak ingin bicara dengan cucunya sendiri?" Pertanyaan Naruto meluncur kesekian kali dan kembali mendapat anggukan dari seorang maid yang tampak kaku.

Lelaki bersurai pirang itu mendengkus. Berdiri dari duduknya di sofa.

Jiraiya bahkan tak ingin turun untuk menemui dirinya. Berada di kamarnya, duduk di kursi roda, termenung menatap jendela dan tak pernah beranjak dari sana, seperti pemandangan perkotaan di Washington Square lebih menarik minatnya.

Naruto ingin memuntahkan kekesalannya, tetapi itu bukan pilihan yang baik. Hal seperti ini menjadi begitu biasa untuk Naruto alami, hanya ada kebekuan di sekitar hunian tiga lantai itu, para maid berseliweran bagai robot, mereka bahkan tak membantu Naruto untuk lebih mengenal Kakeknya. Sama seperti Naruto, para maid juga kebingungan dengan apa yang paling Jiraiya sukai. Tidak pernah ada protes dari Jiraiya mengenai kinerja mereka, tetapi hal itu pula yang membuat para pekerja merasa khawatir.

"Perkotaan bukan tempat yang cocok." Gaara mendampingi Naruto kali ini, sopir membukakan pintu mobil, Naruto memasuki mobilnya, duduk di sana sementara Gaara menyusul di sebelahnya.

"Aku sudah berpikir seperti itu, mungkin dia lebih baik tinggal di pedesaan. Washington terlalu padat."

Gaara mengangguk-angguk.

"Apa perlu aku mengurusnya?"

"Tidak perlu. Kakashi yang akan mengurusnya."

"Baiklah."

Mobil melaju, ikut bergabung di jalan besar perkotaan. Hari masih siang, membuat terik matahari di musim panas cukup membuat orang-orang bersemangat keluar. Naruto mengunjungi NYC untuk menemui kakeknya, melihat perkembangan lelaki tua itu. Namun, seperti tidak dianugerahi ekspresi, pria tua Bangka itu masih menutup mulut rapat mulutnya.

Tidak ada yang bisa membuatnya bicara, terkecuali Nagato, salah satu cucu tercinta Jiraiya, yang berperan penting membuat Naruto tergeser sebagai pewaris.

Semakin sulit, semakin menarik.

"Kita langsung kembali ke Jepang."

"Bukankah Anda memiliki jadwal penerbangan ke Minnesota, Naruto-san?"

"Ah," Naruto memijat pelipisnya. "Batalkan saja, aku ingin ke Jepang." Naruto tidak berselera berpura-pura untuk sepotong roman picisan, rasanya memuakkan.

.

.

.

Tiga hari kemudian Naruto baru sempat mengunjungi mansion-nya setelah urusannya selesai dengan perusahaan. Kakinya melangkah, di sambut pelayan yang membukakan Jasnya, netra birunya mengamati sekitar. Terasa cukup damai, tidak ada tanda-tanda kekacauan.

Kurenai telah ia kirim ke mansion untuk melakukan pelatihan sesuai keinginannya, wanita itu berkata mungkin akan sesekali menginap karena Putrinya tinggal di asrama, pun ketika Suaminya bekerja lembur. Wanita itu memiliki dedikasi tinggi terhadap tugas, Naruto pikir ia tidak akan menyesal mengandalkan Kurenai untuk urusan Hinata.

Kakinya melangkah menaiki tangga, sebetulnya hendak langsung menuju kamarnya. Dirinya datang ketika sore, hampir mendekati senja. Namun, siluet Hinata terlihat di beranda, wanita itu menggerai rambut indigo kelamnya, memakai bandana, tampak tengah melakukan meditasi.

Naruto menggulung kemejanya sampai siku, tidak jadi menaiki tangga dan berjalan mendekati beranda. Meditasi di lakukan hampir mendekati senja, sepertinya bukan waktu yang tepat.

BLOOD FLOWER (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang