10

117 15 0
                                    

malam gelap nan tenang, bus melaju perlahan meninggalkan kota, menyisakan hanya samar-samar cahaya lampu jalan di belakang. Pond memeluk kekasihnya dengan erat, pelukan yang penuh kehangatan dan ketenangan kelap kelip lampu menjulang kegelapan. Suara lembut bus merayap dan getaran lembut di bawah mereka seperti melodi pengantar dalam perjalanan panjang.

Dalam pelukan, Phuwin menemukan kekuatan, seolah dunia jahat di luar bus tak pernah ada. Malam ini, di bawah langit pekat, mereka berbagi rasa aman yang tak tertandingi, sementara kota perlahan-lahan menghilang di kejauhan.

Pond menatap selang infus dengan penuh kekhawatiran, sementara bus terus melaju menembus jalan.

"Dingin?"

Phuwin sedikit mendongak, sekarang seluruh tubuhnya tertekuk dalam tiga lapisan selimut.

"Sayang, apa masih dingin?"

"Tidak, karena Dokter sudah memberikan banyak selimut"

Nada suara lemah, bahkan masih menggemaskan. Pond meneguk saliva, matanya berair perlahan dengan jemari halus mengusap wajah sang kekasih "tidurlah, aku akan memelukmu sepanjang malam"

"Dokter juga harus tidur"

"Tentu saja, aku hanya akan tidur di dekatmu sayang..." Rasanya tak akan bisa memejamkan mata semalaman ini, sampai dia bisa memastikan bus tiba di Bangkok sebelum persediaan cairan infus nya habis.

Pelukan erat hanya sebagian dari rasa khawatirnya, air mata yang bercucuran di puncak kepala Phuwin tak akan dapat menggambarkan ketakutannya. Setiap kali mencoba tenang, gelombang berdatangan.

Sekarang, bagaimana tuhan akan membuka jalan? Atau sekedar membantunya menuai harapan. Mahluk manis kesayangannya tak berdaya, ribuan doa mengudara. Sumpah serapah tak terhitung jumlahnya, jika tuhan akan menghukum, tolong hukum dia saja.

Setiap ukiran tinta di atas kanvas yang di torehkan Phuwin adalah kesenangan hidup tak terkira, menyela jalan setapak kecil, membuka jalan untuk menuai kehidupannya sendiri.

"Sayang... Kenapa tuhan ingin menghentikan kita?"

Suara dengkuran halus terdengar, Pond diam menggigit bibir mengiring air mata tanpa suara. Hatinya hancur seketika.

"Apa cintaku salah? Apakah perasaan ku membawa kesialan?"

Rimbun pepohonan sepanjang jalan menutup penerangan, rembulan mengintip membawa sedikit penerangan. Perjalanan masih panjang, mungkin getaran halus akan terus terasa. Pond tak banyak bergerak, pelukannya masih erat.

.
.
.
.
.

Setibanya bus di terminal Bangkok yang riuh, suasana segera berubah menjadi hiruk-pikuk. Dengan gesit, Pond mulai sibuk menyiapkan kursi roda yang telah dilipat dari dalam bagasi. Setelah memastikan semuanya siap, ia dengan lembut menuntun sang kekasih turun dari bus, melangkah dengan hati-hati di antara kerumunan orang yang berlarian dan suara mesin yang menderu.

Sikapnya penuh perhatian saat memastikan Phuwin nyaman dan aman, seolah memberikan dukungan penuh. Keduanya mulai meninggalkan terminal yang sibuk.

"Kakakku akan menjemput kita" Pond sedikit menunduk, mencium kening si manis "sayang... Bagaimana perasaan mu?"

"Aku baik-baik saja Dokter..."

"Kita akan pergi ke rumah sakit yang bagus, kau akan sembuh, aku janji..."

Phuwin mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya saat mendengar penuturan itu.

"Sayang... Kau percaya padaku, kan?"

Bagaimana ekspresi wajah tampan itu sekarang? Dia bahkan tak bisa menyaksikannya, Pond tak pernah jera membuatnya bangkit, dan sekarang lelaki itu benar-benar mengorbankan banyak hal untuk melihatnya sembuh "aku percaya pada Dokter..."

Tak lama kemudian, seorang wanita cantik melangkah mendekat dengan anggun. Tatapannya lembut namun tajam, menilai Pond dan lelaki asing yang duduk di kursi roda.

Kecantikannya seakan menjadi kontras dengan suasana di sekeliling, membuat kehadirannya semakin mencolok. Wajahnya memancarkan rasa ingin tahu dan kekhawatiran, sementara matanya penuh dengan empati saat ia mengamati mereka dalam diam.

"Phi..." Pond menampilkan senyum lebar, menatap wanita itu dengan antusias.

"Pond? Siapa yang kau bawa ini?"

"Dia kekasihku—

—Shitt..." Ia mundur beberapa langkah, syok hingga menutup mulutnya dengan kedua tangan "kau? Gay?"

Raut wajah kakaknya berubah, mencerminkan campuran kebingungan dan keterkejutan. Dan Pond hanya bisa mengangguk, melirik sedikit pada Phuwin yang mulai murung.

"Hufhh... Baiklah... Siapa namamu?"

Sedikit mendongak mencari-cari sumber suara, membuat Phuwin tampak seperti orang bodoh.

"Dia? Buta?"

Pond tak tahan lagi, menyingkirkan tubuh kakaknya yang berusaha melambaikan tangan di depan wajah sang kekasih "hentikan, kau membuatku kesal"

"Serius? Apa kekasihmu ini buta?"

"Phi, hentikan..."

Davika mengibaskan tangan, meraup udara dengan rakus dan kesal "apa kau berencana membuat perang dunia di rumah kita?"

"tidak"

"lalu? apa yang kau harapkan. ayah dan ibu akan mengusirnya"

Pond menghela nafas, setengah sadar bahwa sejak awal pertemuan Davika akan se syok ini "itu sebabnya aku meminta bantuan padamu, Phi. tolong bantu aku, kami butuh tempat tinggal yang layak dan dekat dari rumah sakit selama proses pengobatan Phuwin"

"Phuwin? nama kekasihmu ini Phuwin?"

ia mengangguk pelan, bermaksud mengiyakan ucapan sang kakak.

"aku hampir gila Pond, aku tak menyangka kau pergi ke kota kecil itu dan pulang membawa seorang kekasih. dan... dia lelaki, bahkan... buta? sialan Pond, kau akan membuat ayah dan ibu mati berdiri"

"Davika, apa kau bisa berhenti mengatakan kata-kata jahat semacam itu?"

Davika menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gelombang pikirannya yang mengganas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa semakin tajam ketika ia menyadari betapa dalam luka yang mungkin ia ciptakan pada kekasih adiknya "pikiranku kacau, maaf..."

ekspresi manis Phuwin tak padam, sejak tadi dia hanya mengangguk mencoba mengerti setiap kata sesal yang di ucap wanita itu. 

"humm... sudahlah, otak mu tak pernah beres jika panik"

"sialan, dari dulu kau selalu saja kurang ajar padaku. bahkan sekarang kau membutuhkan bantuan, tak pernah benar-benar tulus memintanya"

Pond menatap kosong ke arah kakaknya, menghela nafas dengan penuh kelelahan, seolah kata-kata yang terus meluncur dari bibir sang kakak hanyalah angin yang tak pernah berhenti. "Davika, tolong aku..."

Sedikit syok, wanita itu akhirnya mengatupkan bibir sempat mengangguk pelan kemudian kembali memperhatikan wajah Phuwin "kalian boleh menempati apartemen ku"

"Kau serius?"

"Apa wajahku kelihatan bercanda?" Davika menunjuk wajahnya kemudian meringis "semoga kekasihmu cepat sembuh, sampai jumpa lagi minggu depan"

Pond melirik si manis yang menundukkan kepala mengucapkan terima kasih pada sang kakak, begitu Davika berlalu dari sana, ia cukup khawatir dengan kondisi Phuwin. Bukankah semua kata-kata yang disampaikan kakaknya tadi seperti penghinaan, Pond ikut terluka.

"Sayang... Aku akan memesan taksi, setelah itu kita istirahat di apartemen milik kakak ku"

"Humm... Maaf Dokter, aku benar-benar merepotkan kalian"

"Tidak ada yang merasa repot, apartemen itu juga sudah lama tak di tinggali. Aku sering kesana saat dulu masa Koas"

Phuwin tersenyum tipis, meraba-raba angin mencoba mendapatkan tangan Pond. Ia mengusapnya penuh kelembutan, sesekali menciumnya dan terus tersenyum "Dokter... Terima kasih telah mencintaiku, Terima kasih  telah menjadi satu-satunya orang yang memberiku kesempatan merasakan cinta sehebat ini"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow dan komen dlu

Love Opens The Way [PondPhuwin]18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang