14

162 18 1
                                    

Dua bulan telah terlewati, dan waktu seolah berlalu begitu cepat bagi Pond.

Hari-harinya kini dipenuhi rutinitas intens di UGD, di mana hiruk-pikuk pasien dan tanggung jawab yang besar telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Ia mulai terbiasa dengan ritme kesibukan, menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan yang penuh tekanan dan hatinya yang selalu terpaut pada si manis . Setiap malam setelah shift panjang, ia akan menuju bagian rumah sakit yang lain, di mana sang kekasih menjalani kemoterapi.

Pond menemani Phuwin dengan setia, meski lelah, tak ada keluhan, hanya keteguhan dan kasih yang menguatkan keduanya dalam masa-masa sulit ini. Rutinitas itu mungkin melelahkan, tetapi janji dan tanggung jawab yang ia emban membuat setiap langkahnya terasa berarti.

"Dokter Pond..." Phuwin sendiri sudah merasakan dampaknya, dimana helai demi helai rambutnya mulai rontok "apa Dokter masih tidur?"

"Humm..." Pond menyeimbangkan tubuh dengan peregangan "aku sudah bangun dari tadi"

"Apa Dokter lapar?"

"Tidak sayang..." Pond perlahan mengusap kepala sang kekasih yang kini botak karena kemoterapi. Tangan hangat membelai mencoba memberikan kekuatan—wajah yang dulu ceria kini tampak lemah dan kurus, Ada sejumput rasa sakit di hati Pond menyaksikan perubahan itu "apa kekasihku yang manis ini, lapar?"

"Humm... Tidak"

"Sebentar lagi petugas akan membawakan makanan, harus makanan yang sehat"

Phuwin mengendus, semalam dia ketahuan sedang memakan BBQ pedas, maklumlah belakangan ini Davika selalu memberinya keleluasaan untuk menikmati menu-menu enak.

"Maaf...."

"Sudah tidak apa-apa, aku janji setelah sembuh, aku akan membawamu ke tempat makan yang paling enak di Bangkok"

"Humm... Aku percaya pada Dokter..."

"Jangan murung lagi sayang..." Dengan hati-hati, Pond naik ke atas ranjang inap, duduk di samping kekasihnya. Ia mendekat, hingga hanya ada jarak tipis di antara mereka. Tatapannya intens, penuh kasih, seolah ingin menangkap setiap detail wajah cantik yang kini tampak rapuh. "Apa kau melihatku?"

Phuwin menggeleng.

Sekarang ia hanya bisa menatap si manis dengan perasaan yang campur aduk—mata yang dulu penuh keceriaan telah lelah melawan rasa sakit.

Pond mendekatkan wajah, jantungnya berdebar pelan. Situasi hening, ia menciumi bibir Phuwin dengan lembut, seolah ciuman itu bisa menyampaikan semua yang tak terucapkan—rasa sayang yang mendalam, kepedihan, dan harapan yang masih ia genggam erat. Bibir mereka bersentuhan begitu dalam, mengisi ruang.

"Humm... Eughh..." meski lemah, Phuwin berusaha menggerakkan tubuhnya yang terasa berat. ia mencoba meringsak, berusaha menghindari ciuman yang terasa semakin lama "tidak mungkin melakukan itu sekarang..."

"Maaf sayang, aku tidak sadar..."

Tawa kecil begitu menggelikan, Phuwin mengusak rambutnya di dada bidang sang dominan. Perasaan aneh dan menyenangkan, ingin lebih lama, lebih jauh, meski tanpa arah, rasanya baik-baik saja.

"Pipimu sangat merah..."

"Humm?"

"Semakin cantik..."

Phuwin memejamkan mata, seolah debaran aneh menjalar ke seluruh tubuhnya "itu... Karena kita sudah tak pernah berciuman... Jadi aku malu..."

"Jika nanti sudah sembuh, apa kita bisa melakukan yang lebih?"

"Hah?"

Pond menggeliat, tertawa puas menciumi seluruh permukaan wajah si manis "maaf... Itu hanya bercanda"

.
.
.
.
.

"Ada Panggilan rapat untuk Dokter UGD"

Pond menghela napas panjang, seakan mencoba melepas rasa lelah yang menggelayuti. Ia melangkah keluar dari ruang UGD, berjalan bersama para perawat dan dokter lain menuju aula rumah sakit. ada ketenangan yang terasa berat dalam setiap koridor, seolah ruang di sekelilingnya diisi oleh perasaan yang tertahan.

Suara langkah kaki mereka bergema di lorong yang sepi, sementara Pond menatap lurus ke depan, pikirannya mungkin masih tersangkut pada apa yang baru saja terjadi. Di antara kelelahan fisik dan mental, ia tetap tenang, bersiap menghadapi apa pun yang menanti di Aula itu, seperti halnya ia selalu siap menghadapi setiap situasi di UGD.

Pintu aula terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan yang luas namun sunyi. Pond dan rekan-rekannya memasuki ruangan dengan langkah tenang, menyisakan gema ringan di udara. Tanpa banyak bicara, mereka memilih tempat duduk, satu per satu mengambil posisi dengan sikap tenang.

Saat direktur datang, Suasana di dalam aula terasa berbeda, seolah ada beban yang tak terucapkan melayang di antara mereka. Pond duduk, punggungnya tegak, matanya memandang lurus ke depan, namun pikirannya masih berputar. Dalam diam, mereka menunggu, menjaga ketenangan di tengah udara sejuk.

"Perasaan ku tak enak" tutur Prim mencoba menyenggol bahu Pond.

"Entahlah..."

"Aku sudah dua tahun disini, jika ada pertemuan mendadak biasanya ada yang di mutasi"

Pond membelalakkan mata "atas dasar apa?"

"Bisa jadi rumah sakit lain di daerah terpencil membutuhkan tenaga" jelas Prim, raut wajah cantiknya jelas khawatir "semoga saja bukan aku, dan kau"

Direktur rumah sakit berdiri dari kursinya dan perlahan naik ke podium, menguasai perhatian semua orang di dalam aula. Setelah sesaat mengamati ruangan, ia mulai berbicara dengan suara yang jelas dan penuh wibawa. "Kita menghadapi tantangan besar" ucapnya, membuka dengan nada serius. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa instruksi yang tidak hanya penting, tetapi mendesak. "Kurasa kalian sudah tau kebakaran besar di salah satu pedesaan terpencil, jaraknya sangat jauh dari ibukota. Mereka membutuhkan bantuan tenaga medis"

Prim menghela nafas "sudah kuduga..."

"Apa ada yang berniat menawarkan diri untuk di pindahkan?" Keheningan tercipta, setiap orang memahami betapa beratnya keputusan yang akan dibuat. "Sebenarnya kami sudah memikirkan ini baik-baik, dan memegang beberapa nama untuk di pindahkan. Ini tidak permanen, hanya enam bulan saja"

Pond mulai berpikir keras, enam bulan tetap saja bukan waktu yang singkat. Dan kekasihnya harus menjalani kemoterapi, dalam kurun waktu itu, apakah mungkin dia bisa meninggalkan Phuwin?

Jelas tidak, dia tak akan mengajukan diri.

"Dokter Pond Naravit"

Sedetik, dua detik, mata Pond terpaku pada sosok tegas di podium. "Saya?"

"Iya.., Dokter Pond Naravit..."

"Kenapa, saya?"

Riuh tepuk tangan terdengar, Pond rasanya akan pingsan "kenapa? Kenapa saya?"

Prim syok berat, matanya memejam frustasi "kenapa Dokter Pond? Ya ampun..."

"Kami sudah memilih anda untuk memimpin tim rumah sakit yang akan berangkat ke tempat bencana, melihat kesigapan, dan ketelatenan anda. Kami memilih anda" itu kata direktur, dan Pond hanya bisa termangu.

"Enam bulan..." Bisik Pond dengan mata nanar "siapa yang akan menemani kekasihku melakukan kemoterapi? Davika, aku tak bisa sepenuhnya percaya pada penyihir itu..."

"Dokter Pond, izinkan aku ikut menemanimu bertugas..." Prim memasang wajah tragis, seolah ucapannya barusan tak sungguh-sungguh.

"Jangan menambah beban pikiran ku..."

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow dan komen💙

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Opens The Way [PondPhuwin]18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang