11

143 18 4
                                    

Pond membuka tirai, tatapan matanya tembus melewati kaca jendela apartemen. Hiruk pikuk kehidupan kota mulai terlihat jelas di bawah sana, hal yang selalu ia rindukan perihal bangkok, sekarang nampak begitu jelas.

Siapa tau, suatu saat dia memiliki kesempatan untuk kembali ke kota kecil itu. Tempat dimana semua kanvas impian Phuwin berserakan, tempat dimana kanopi teduh mereka berdiri tegak. pekarangan luas dengan lukisan lantai semen yang indah, Pond berbalik, sosok manis bermata teduh itu  nampak tenang menjuntaikan jemari di tiap ukiran polos kepala ranjang.

ada perasaan yang  beda kali ini, caranya menatap Phuwin bukanlah sebagai kekasih lagi. melainkan jiwa, separuh dari hidupnya yang hilang.

beginikah orang-orang memaknai cinta?

"sayang... jangan kemana-mana, aku akan pergi membeli sarapan" belum sempat melangkah, lengannya di tarik. kepala lelaki itu serasa kaku begitu suara lirih menyapa di telinga, Pond memastikan si manis yang meraba-raba "sayang... kenapa?"

"apa aku boleh meminta Dokter tetap disini?"

"kenapa sayang? ada yang membuatmu tak nyaman?"

Phuwin menunduk "ini tempat baru, entah mengapa aku terus merasa waspada"

"tenang saja, aku tetap disini" kali ini, bahkan untuk waktu-waktu yang lainnya, dia akan terus mengalah "aku disini sayang..."

Pond mencoba menenangkan, mulai sibuk mencari beberapa menu makanan di aplikasi. nampaknya ia akan mulai sibuk mengajarkan banyak hal baru pada kekasihnya, tak akan banyak menguras tenaga jika di lakukan sepenuh hati. bukan hanya waktu, sekarang Phuwin akan menyita seluruh hidupnya. siapa yang tahan dengan raut manis sedih itu? kini Pond menoel pipi Phuwin main-main, ada hal lain... yang tak pernah bisa ia jelaskan.

hari itu, bukan akhir juga permulaan. Pond sadar dia butuh banyak usaha dan biaya untuk melanjutkan pengobatan kekasihnya, hal pertama yang ia lakukan adalah mendapat kontrak dari rumah sakit. jadi rencananya siang nanti, rumah sakit besar itu harus ia telusuri.

bukan hal mudah sebenarnya, bahkan ia terbilang masih dokter yang baru. Meskipun kecakapan klinisnya tak diragukan, Pond menyadari bahwa untuk benar-benar masuk di rumah sakit besar itu, ia membutuhkan jaringan dan dukungan dari pemegang kekuasaan.

"ckk... Davika bisa membantuku" 

Pond menata berkas-berkas lamaran di atas meja, memastikan setiap kertas terlipat rapi dan siap untuk dikirim "nenek sihir itu punya kenalan Direktur disana, aku yakin"

kakak iparnya adalah seorang mentri pemerintahan, Pond yakin Davika punya koneksi yang luas.  Pond memandangi tumpukan berkas di mejanya, berpikir sejenak bahwa dengan koneksi suami kakaknya, pintu menuju rumah sakit besar itu mungkin akan terbuka lebih lebar jika dia memutuskan untuk meminta bantuan.

'sialan... kenapa kau mengganggu ku lagi?'

Pond menjauhkan ponsel dari telinganya "aku hanya ingin meminta bantuan, kau jahat sekali"

'sial, ingatkan dirimu bahwa kau sudah membuatku kepikiran sejak pagi tadi'

Sekarang dia ciut, melangkah pelan menghindar dari Phuwin yang masih sarapan. Pond membuka pintu balkon, meraup udara kemudian mencoba lebih tenang "Phi, aku butuh bantuan mu sekali lagi... Aku, mohon..."

Tak ada sahutan, kepala pria itu menyentuh besi pegangan di atas udara, hampir menyerah.

'ayah dan ibu, akan membunuhmu, aku yakin'

"Mereka bisa membunuhku nanti, tapi kumohon bantu aku sekarang, setidaknya saat aku mati, Phuwin berhasil sembuh"

'apa yang bisa ku bantu? Idiot'

.
.
.
.
.

"Silahkan duduk..."

Pond hanya bisa mengangguk dan membungkuk hormat, memeluk map berkas di tangannya dengan rasa canggung.

"Pak william sudah menghubungi ku..."

Baiklah, sekarang ia bahkan tak tau bagaimana cara menjilat direktur itu dengan baik "humm... Iya, beliau adalah kakak ipar ku"

"Kami saat ini menghadapi kekosongan posisi sebagai dokter umum di unit gawat darurat. Kami membutuhkan seseorang yang tidak hanya memiliki keterampilan medis yang solid, tetapi juga kesiapan untuk menangani berbagai situasi darurat yang sering kali datang tanpa peringatan."

"Unit gawat darurat?" Pond nampak bingung, bukankah dia akan sibuk sekarang? Bagaimana bisa menangani pengobatan Phuwin dengan baik.

"Tenang saja, tidak akan terlalu sulit dan menyita waktu. Kami memiliki 4 Shift. Kamu bisa mulai bekerja besok siang. Dan mengecek papan informasi di UGD"

Baiklah, sekarang cukup lega. Rasanya tak repot lagi bertele-tele, Pond berdiri kemudian membungkuk mengucapkan banyak terima kasih.

Di balik pintu ruangan besar itu, ia akhirnya tersenyum lega.

Jalan jalan besar kota akan menjadi benda bisu mengikuti rutinitas hariannya, kemacetan di tiap sudut, trotoar jalan dengan tanaman indah di sisinya. Zebra cross dan tiang lampu merah di siang itu menjadi pemandangan yang cukup melegakan bagi Pond.

Langkah pelannya berirama, puluhan manusia berbaris melewati garis putih jalan menuju tempat mereka masing-masing. Pond redup di antaranya, mengulurkan kepala untuk memastikan di depan sana ada space yang lebih luas.

Sekitar tiga menit dia sampai di trotoar jalan yang lebih besar, ke arah halte bus dia menjejalkan pandangan berharap kertas rute menujuk ke arah yang ia tuju.

Kota yang sibuk, bukan hanya dia, semua orang disana memiliki keperluan. semuanya berlomba, tidak di garis start yang sama, dan tantangan di tiap waktunya tak sama. Pond masih diam di atas besi tempat duduk halte putih dengan sedikit karatan, wajah tegas tampan sedikit berpeluh. perasaan berat tak pernah lega, dia memiliki banyak harapan.

sekarang dia baru berjuang mencapai garis start, hidupnya hanya akan di mulai saat Phuwin sembuh. mereka telah berjanji akan pergi, di kota kecil tempat dimana janji itu pertama terucap. sepetak tanah kecil, berlantaikan semen masih menjadi destinasi favorit dimana kanvas akan mengukir lebih banyak cerita.

desak desak di atas bus cukup menenangkan, setengah hari bukanlah waktu yang lama. rasanya persimpangan depan sedikit lagi ia akan sampai di halte pertama pemberhentian. Pond celingak celinguk, meminta ruang untuk berlalu dari sana. hanya sedikit trotoar jalan, halaman menjuntai sangat luas, pria muda itu berlari-lari kecil mendekati tangga sepetak menuju ke dalam gedung apartemen.

kekasih hatinya, akan menanti.

yang di bawa pulang bukan raut lelah lagi, melainkan wajah berseri tak sabar menyampaikan berita ini pada si manis. koridor sepi menyambutnya, kerinduan membuncah. Matanya terpaku pada sosok yang terduduk di sofa. Rambut yang biasanya terurai bebas kini terikat mungil, mata tipis begitu kosong. Tangannya terulur lembut, mengusap pipi kekasihnya yang dingin, Di sampingnya, dunia terasa sempurna dalam diam.

"kita akan pulang sayang..."

nampak sosok manis itu mengulum senyum, mata tipis cantik itu berair.

"kau percaya padaku, kan?"

kini, ia mengangguk.

"mungkin dunia telah gelap untukmu, tapi kekasihmu ini adalah bintang"

"bintang?"

Pond mengatupkan bibir, air matanya telah jatuh, segalanya hampir runtuh "humm... Dan jika badai membuat mu terluka, aku adalah lautan luas yang teduh"

senyum dari bibir tipis itu terbit

"tapi maaf... karena aku hanya bintang, dan tuhan adalah langit yang akan melindungi mu" dia percaya, dan dia akan berdoa. selamanya.

Pond menggendong lelaki manis itu, menakup dagu Phuwin di bahunya penuh kelembutan. "maaf kau harus mendengarkan dongeng dariku, dongeng yang sangat kekanak-kanakan"

"dongeng? tadi Dokter menceritakan dongeng?" ia tersenyum lucu seolah sesuatu baru saja menggelitik perutnya. "aku suka bintang, dan aku suka lautan"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow komen, dan ninggalin jejak, see you di chapter selanjutnya 💙

Love Opens The Way [PondPhuwin]18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang