1

996 58 3
                                    

Pagi itu di kota kecil terasa begitu menenangkan. Rintik-rintik hujan turun dengan ritme teratur, menciptakan simfoni alam mengusir kesunyian. Seorang lelaki tampan terlihat berjalan perlahan, mengenakan payung hitam yang kontras dengan langit abu-abu.

Ia menyusuri jalan rata yang basah, langkahnya menyatu dengan alunan hujan di antara pemukiman tenang. Gemericik air di bawah sepatunya menyiratkan kedamaian yang jarang ditemui, menambah nuansa magis pagi mendung begitu sederhana.

Pond Naravit memandang name tag di jas dokter putih bersih, huruf-huruf namanya terlihat jelas. Ia menghela napas, meresapi momen saat—gedung minimalis di depan sana kini akan resmi menjadi tempatnya bekerja selama enam bulan terakhir.

Rasanya seperti baru kemarin ia lulus di universitas, namun kini sudah menjadi bagian dari kota kecil ini, harus siap dengan segala suka duka yang menyertainya.

Tiba-tiba Dua perawat dengan senyum ramah menghampiri Pond. "Dokter, biar kami bantu mengangkat koper dan bawaan Anda," tawar salah satu dari mereka dengan penuh kehangatan. Satu perawat lagi dengan sigap meraih koper, sementara yang lain mengambil tas yang disampirkan di bahu.

Pond tak banyak bicara, hanya menurut kemudian mengikuti dua wanita itu mengantar ke kamarnya.

Suasana dan nuansa di daerah ini cukup tenang, mungkin dia akan betah berlama-lama di sini.

Saat Pond membuka pintu kamar khusus yang telah disiapkan untuknya, Cahaya lampu yang lembut menyambut, memantul dari dinding-dinding sederhana namun elegan.

Kakinya melangkah masuk, merasa kehangatan dan ketenangan memenuhi ruangan. Di sini, segala penat dan lelah terasa sirna sepanjang perjalanan beberapa jam yang lalu.

"Perkenalan Dokter, saya perawat June dan rekan saya Tu. Kebetulan saya adalah kepala perawat disini, dan tinggal di sekitaran kota kecil ini juga. Usia saya 20 tahun"

"Iya salam kenal" Pond duduk tenang di tepi ranjang, pandangannya tertuju pada dua wanita yang masih berada di sana, berharap mereka segera pergi dan membiarkan keheningan menyelimuti ruangan itu. Detik-detik terasa lambat, sementara ia menunggu dengan sabar.

"Dokter, anda belum memperkenalkan diri"

"Ahh... Iya, Pond Naravit"

Kedua wanita itu terdiam sejenak, suasana menjadi sunyi. Dengan gerakan canggung, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengucapkan salam perpisahan. Tanpa berkata banyak, June dan Tu berpamitan perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Pond merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap kosong ke luar jendela sambil menyingkirkan sedikit tirai. Hujan di kota itu masih terus berlanjut, rintik-rintik air menari di permukaan aspal, menciptakan irama melankolis yang selaras dengan pikirannya. Di balik tetesan air yang berjatuhan, ia menemukan ketenangan.

Tak buruk memilih kota terpencil ini sebagai tempatnya melakukan penugasan singkat.

.
.
.
.
.

Phuwin berjalan perlahan di bawah payung, melindungi diri dari rintik hujan yang mulai turun. Di pelukannya, ia menggenggam erat peralatan lukis, hartanya paling berharga. Suara langkah kaki tenang menyatu dengan irama hujan, sementara pandangannya tertuju pada rumah yang ia sewa begitu teduh.

Di sanalah tempatnya menemukan ketenangan dan inspirasi, meskipun hanya untuk sementara.

Saat kaki lelaki manis menginjak lantai, ia merasakan dingin menjalar dari ujung jari kaki hingga ke seluruh tubuh. Perlahan, meletakkan payung basah di sudut dekat pintu. Suara rintik hujan masih terdengar di luar.

Dalam rumah minimalis tercium aroma bersih menenangkan di udara. Begitu hati-hati, ia meletakkan setumpuk pakaian basahnya di sudut ruangan dan merapikan mereka satu per satu.

Akhirnya, senyum pria manis itu mengembang, menyerahkan diri pada kenyamanan sofa, menyelimuti seluruh tubuh menggunakan selimut lembut, membiarkan kelelahan menghampiri seperti ombak tenang menyambangi pantai.

"Tak terasa setahun berlalu sejak aku hidup di kota indah ini"

Dengan tatapan hening, Phuwin memandang keluar jendela, hujan tak henti-hentinya membasahi kota sepanjang tahun bagaikan teman lama yang setia. Meski derasnya guyuran itu kadang mengundang kesedihan, namun di dalam dirinya, Phuwin merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan.

Matanya terhenti pada tumpukan kanvas di pinggir ruangan, setiap goresannya menggambarkan kehidupan penuh warna, kontras dengan pemandangan monoton hujan yang begitu menenangkan. Itulah keajaiban yang ia ciptakan, keindahan dalam keheningan dan kebahagiaan dalam kesendirian.

"Aku tak sabar untuk hidup di tempat ini, lebih lama lagi"

.
.
.
.
.

Cuaca mulai terang, Pond menyempatkan diri berjalan di halaman samping sekitar rumah sakit, tatapannya terpusat pada beberapa lukisan indah yang menghiasi lantai semen. Warna-warna cerah dan detail halus seolah menariknya ke dunia lain, mengusir sejenak suasana suram di sekitaran.

Langkah pria tampan itu tertahan "siapa yang melukis di sini?" Dia menatap langit, nampak cuaca lebih bersahabat. Tapi seperti yang ia ketahui di kota ini selalu saja hujan, apa memungkinkan untuk membuat karya indah di atas pijakannya? Jelas lama kelamaan warnanya akan memudar.

Suara langkah terdengar semakin mendekat. Dia mendongak, rasa jengkel menyelimuti hatinya saat melihat lelaki manis berjalan begitu ringan di atas lantai berwarna tersebut, seolah tak menyadari keberadaannya. "Heh... Heh..."

Phuwin mengerjap, berhenti tepat di hadapan pria tinggi yang menjegal.

"Sekarang yang bertugas menjadi dokter dirumah sakit ini adalah aku, dan peraturannya siapapun yang ingin menginjak lantai ini tak boleh mengenakan alas kaki"

Phuwin mundur beberapa langkah, berusaha menjauh dari tatapan Pond yang penuh kekesalan. "Maaf..."

"Humm... Baiklah, sekarang lepaskan sendal mu, kau mengotori lukisannya"

"Tapi—

—Husstt... Sudah... Sudah..." Pond mendorong pelan, bermaksud membuat pria manis itu pergi "jika ingin masuk ke dalam, lewat rumput saja"

Phuwin menepi dari lantai semen yang keras dan dingin, kemudian melangkah perlahan di atas rerumputan basah. Setiap jejaknya meninggalkan bekas di antara tanaman merunduk, senyum kecilnya terbit. "Apa dia sangat suka dengan lukisan ku?" Lirih Phuwin begitu pelan.

Pond menyipitkan mata, berkacak pinggang memperhatikan detail indah di atas lantai semen.

Lukisan indah menampilkan pepohonan  menjulang tinggi, dahan-dahannya merentang seolah ingin meraih langit. Di atasnya, awan-awan mendung bergulung, menciptakan suasana misterius dan penuh harapan.

Warna-warna gelap dan terang berpadu harmonis, menciptakan kontras yang memikat mata. Semua ini terpampang indah di atas lantai dingin, membuat Pond terus berdecak kagum.

"Apa aku harus memasang atap di sini" tatapannya mengarah ke sekitar, rumput lebih mendominasi dan hanya sedikit bagian jalan semen yang mengarah ke salah satu pintu rumah sakit. "Baiklah, aku akan meminta bantuan perawat untuk memanggil pekerja. Lukisan indah ini harus di jaga dan di abadikan selama aku bertugas disini"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Kita bawa cerita Pondphuwin yang baru nih, Jangan lupa follow komen dan ninggalin jejak dulu 💙💙💙

Love Opens The Way [PondPhuwin]18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang