Sabina menghela napas melihat sebuah buku tebal yang penuh dengan stiker penanda halaman-halaman penting di hadapannya. Pena yang sedari tadi digenggamnya untuk mencatat bagian-bagian yang menjadi data analisis ia lepas, lalu Sabina mengangkat kedua tangan untuk meregangkan tubuh.
Sabina selalu mengira kecintaannya terhadap sastra akan membuat kehidupan perkuliahannya terasa menyenangkan, ia percaya diri jika dirinya sudah cukup mengetahui bidang yang ia cintai. Namun, semakin hari rasanya kepercayaan dirinya semakin terkikis.
Sabina kira dengan menyukai karya-karya Khaled Hosseini, J.K Rowling, Haruki Murakami, dan yang lainnya sudah cukup membuat dirinya sebagai anak sastra. Namun dalam diskusi-diskusi kelas, Sabina menjadi sadar bahwa pemahamannya terhadap sastra klasik masih banyak kurangnya dibanding teman-temannya yang terlihat begitu bersemangat membahas karya-karya Shakespeare, Charles Dickens, Jane Austen.
Sabina merasa dunia yang sangat ia kenali, mendadak asing. Setiap diskusi kelas seolah-olah menjadi pengingat untuknya bahwa ia cukup jauh tertinggal.
Sastra yang dulu menjadi tempat pelariannya dari hal-hal yang tidak menyenangkan, kini justru menjadi sumber kegelisahannya. Seperti sekarang, saat ia harus membaca sebuah literatur dengan judul A Tale of Two Cities karya Charles Dickens dan harus menganalisis penggambaran kelas sosial yang terjadi di dalam novel itu menggunakan teori marxisme.
Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya, apakah ini yang benar-benar ia mau? Ternyata kuliah memang sulit, meski jurusan yang diambil memang sudah sesuai minat diri sendiri.
Pintu kamar yang dibuka membuat Sabina mengangkat kepala, Mamanya rupanya. Dahi Mama berkerut heran melihat Sabina yang masih terlihat berlum bersiap-siap. "Bin, kamu kok belum siap-siap?"
Sabina menatap Mama dengan raut yang sama herannya. "Mau ke mana emang, Ma?"
Mama berdecak. "Bunda Nadia kamu kan ngajak ke acara keluarganya Ayah Fadil, kamu udah bilang mau ikut juga. Bentar lagi mereka mau jemput kamu tuh."
Sabina menepuk dahi. Ia benar-benar lupa dengan acara hari minggu ini, bukannya bersiap-siap ia justru mengerjakan tugas dengan deadline yang sebenarnya masih cukup lama. Namun, Sabina rasanya tidak tenang menunda-nunda tugas yang menghantuinya. Jadi, dari pada menjalani hari-hari penuh kecemasan lebih baik Sabina menyicil tugas itu di hari-hari senggangnya.
"Kamu lagi ada tugas?" tanya Mama lagi begitu melihat reaksi Sabina.
Sabina menggeleng. "Enggak kok, Ma. Ini masih lama deadlinenya. Ya udah deh, aku mandi dulu terus siap-siap."
"Buruan, jangan lama-lama!" Titah Mama sebelum menutup pintu, Sabina sendiri langsung melesat ke kamar mandi setelah Mama meninggalkan kamarnya.
Ini tentu bukan untuk pertama kalinya Sabina mengekori Bunda Nadia dan Ayah Fadil ke acara-acara yang mereka datangi. Sebelum kehadiran Ugi di dalam kehidupan mereka, Sabina sudah sering dibawa oleh Om dan Tantenya menghadiri acara keluarga dari pihak Ayah Fadil. Menginap di rumah mereka, atau bahkan hanya sekedar berjalan-jalan bertiga bersama.
Panggilan Bunda dan Ayah pada Om dan Tantenya tersebut memang bukan sekedar panggilan, karena Sabina merasa mereka adalah orang tua keduanya. Sebenarnya bukan hanya Sabina yang memanggil mereka dengan panggilan Ayah Bunda, semua sepupu-sepupunya yang lain juga begitu.
Tapi walaupun Sabina cukup sering ikut datang ke acara keluarga besar Ayah Fadil, sebenarnya sekarang Sabina cukup gugup sebab sudah lumayan lama ia tidak ikut bertandang ke sana. Karena sejak SMA, ia sudah mulai sibuk dengan bimbel untuk persiapan ujian akhir dan persiapan masuk ke perguruan tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, ini akan menjadi pertama kalinya Sabina kembali berkunjung ke sana. Hah! Sabina takut merasa terasingkan di tengah-tengah orang yang tidak cukup akrab dengannya. Meski ada Mas Ugi sekali pun, tapi tidak mungkin kan cowok itu tidak berbaur dengan sepupu-sepupunya yang lain dari pihak Ayah Fadil?
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Your Way Home
RomanceUgi dan Sabina bagaikan dua bagian dari satu jiwa. Mereka berbagi dunia yang di mana hanya mereka yang mengerti tentang apa yang ada di dalamnya. Namun apa yang mereka miliki adalah paradoks. Semakin mereka mengambil langkah untuk mendekat pada sat...