Di sela-sela petikan pada senar oleh jari-jari panjang itu, Ugi membenarkan posisi kaca matanya yang turun akibat kepalanya yang berangguk-angguk pelan mengikuti nada yang sedang ia mainkan. Rambut halusnya yang jatuh hingga leher pun ikut bergoyang, hampir menutupi wajah Ugi yang menunduk memperhatikan perpindahan jari pada gitar listrik miliknya.
Ugi yang tubuhnya dilapisi kaos hitam dengan tulisan band Turnstile mendekatkan mulut pada stand mic di depannya. "Semua putihmu menghilang.... menjauh dan melayang. Aku berjalan sendiri, tak menentu."
"Bukan salahmu, parasku membiru. Sadarkan aku..." Segerombolan cowok dengan wajah-wajah yang Ugi kenali itu membuat lingkaran—membuat Ugi, dan teman-temannya yang lain—yang sedang membawakan lagu dengan judul Biru dari Barefood berada di tengah-tengah mereka.
Mereka ikut bernyanyi sekuat hati, dengan tangan yang diangkat dan jari telunjuk menunjuk ke atas—meluapkan semua emosi yang mereka rasakan saat mendengar nada-nada indah, namun cukup menyesakkan itu.
Seperti cowok-cowok seumurannya, sesibuk apapun mereka pada hari-hari biasa. Tapi tetap saja, akan menyempatkan diri untuk bersenang-senang di malam hari. Cukup sering Ugi memainkan lagu-lagu favoritnya di Tibra Layu yang sebenarnya merupakan kedai kopi. Tapi tempat ini memang cukup sering digunakan para musisi lokal sebagai tempat di mana mereka mempromosikan perilisan lagu baru, juga biasa digunakan untuk intimate gig oleh band-band lokal yang berdiri secara independen.
Sebenarnya ini pernah mendapat protes dari Sabina. Gadis itu bilang, Ugi berani menunjukkan bakat di depan teman-temannya atau bahkan orang yang belum ia kenali tapi kenapa Ugi enggan melakukan hal yang sama untuk akunnya—membiarkan orang-orang melihat postingannya.
Ugi juga sebenarnya bingung. Tapi entah lah, memikirkan wajahnya tersebar luas di internet dan banyak yang dapat orang lakukan dengan itu membuatnya merasa kurang nyaman. Meski sebenarnya wajahnya juga sudah cukup tersebar luas sih, karena ia selalu masuk ke dalam akun Sabina yang jumlah pengikutnya sudah lumayan banyak.
"Abis part time jadi barista, nggak mau coba job jadi gitaris orkes, Gi?" tanya Jati asal saat Ugi menghampiri teman-temannya, ikut bergabung dengan mereka. Ugi mengambil tempat di samping Abyan.
"Boleh sih, lo yang jadi biduannya ya." Jawab Ugi santai sambil mengeluarkan ponsel dari kantong celana.
Sudah hampir jam sebelas malam. Tadi Sabina bilang, ia juga sedang keluar bersama teman-temannya. Tapi belum ada kabar lagi dari Sabina, membuat Ugi berinisiatif mengirim pesan pada gadis itu.
Syabil Naugi
dmn bin?
udah pulang belum?"Tapi serius dah, gue kalo bisa ngulang waktu kayaknya gue bakal seriusin Eternal Solitude, band jaman SMA dulu. Gue pikir-pikir ada potensi juga tuh kalo ngeliat selera anak-anak sekarang gimana." Ilyas menimpali sambil menjetikkan ujung rokok pada asbak sebelum kembali menghisap benda itu.
"Emang sekarang nggak bisa lo seriusin lagi, Yas?"
"Ya gimana, temen gue udah mencar semua." Ilyas menjawab pertanyaan Abyan.
"Ajak Ugi lah!"
Ilyas mendengus mendengar ide dari Elzar. "Ugi aja main kalo lagi mood doang, kalo ngeband ya mana bisa anjing main sesuai mood lo."
Ugi yang sekarang menjadi topik obrolan hanya tertawa kecil, pandangannya masih melekat pada layar ponsel—melihat postingan Sabina hari ini di instastorynya.
"Tapi kalo waktu beneran bisa diulang, lo semua mau balik ke masa mana?" tanya Ilyas dengan serius pada teman-temannya yang ditanggapi sama seriusnya pula—tergambarkan dari wajah mereka yang terlihat tengah berpikir keras, sebelum celetukkan Ugi membuyarkan pikiran mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Your Way Home
RomanceUgi dan Sabina bagaikan dua bagian dari satu jiwa. Mereka berbagi dunia yang di mana hanya mereka yang mengerti tentang apa yang ada di dalamnya. Namun apa yang mereka miliki adalah paradoks. Semakin mereka mengambil langkah untuk mendekat pada sat...