Layar monitor yang menampilkan potongan-potongan video tugas praktikum dibiarkan begitu saja menyala, sudah hampir sepuluh menit Ugi berdiam diri. Alih-alih menyicil tugasnya, cowok itu terpekur menatap selembar foto yang biasanya selalu tersimpan rapi di dalam lemari.
Senyum seorang wanita muda tampak begitu lebar mendekap putranya yang justru tengah menangis, sosok pria yang tengah merangkul wanita itu tak kalah lebar pula senyumnya. Senyum yang justru membuat dada Ugi seperti terhimpit batu besar. Sesak sekali. Ia pikir dengan melihat senyum Ayah Bunda rindunya sedikit terobati, tapi kenapa justru menjadi-jadi?
Ugi mulai dihinggapi rasa takut bagaimana semua memori tentang Ayah Bunda mulai memudar, bahkan Ugi harus berpikir keras untuk mengingat bagaimana suara mereka. Di antara pandangannya yang memburam oleh genangan air yang mulai menumpuk, Ugi menatap piring berisi potongan buah-buahan yang disiapkan Mama untuk menemaninya mengerjakan tugas sebelum Mama berpamitan untuk menghadiri acara salah satu temannya. Dadanya semakin sesak, ia juga bahkan sudah lupa rasa sandwich tuna mayo buatan Bunda.
Apakah ini juga terjadi pada siapa saja yang sudah lama ditinggal mereka yang tercinta? Sebagaimana pun usahanya untuk mendekap semua memori itu kuat-kuat agar tetap tertanam di kepala, tapi waktu tidak membiarkannya. Perlahan, dan bahkan tanpa Ugi sadari, waktu mengikis apa yang ia miliki. Beruntung, selembar kertas foto yang memperlihatkan senyum Ayah Bunda masih tersimpan rapi. Karena harus ke mana jika ia rindu selain menatap foto itu sembari meniupkan doa?
Ugi masih menatap selembar foto itu ketika telinganya menangkap suara yang sangat ia kenali menyapa Mbak Ipah yang sepertinya sedang berada di lantai dua—tempat kamarnya berada. Ugi mengusap wajah dan menyugar rambut panjangnya ke atas.
Belum sempat mengembalikan selembar foto itu ke lemari, pintu kamarnya dibuka membuat Ugi refleks menaruh foto tadi di atas meja dalam keadaan terbalik. Terlihat Sabina yang melongokkan kepala dari balik pintu dengan senyum manisnya.
"Aku masuk ya?" melihat anggukan kecil Ugi, gadis itu sepenuhnya masuk ke dalam kamar Ugi yang dipenuhi alunan musik dengan lirik yang membuat Sabina tertegun beberapa saat.
Sabina masih berdiri di sisi Ugi yang tengah duduk di kursi dengan tatapan tertuju pada layar monitor, tangan kanannya menggerakan kursor untuk memotong beberapa bagian video yang sedang dieditnya. Tapi Sabina tahu ada pria itu jauh dari kata baik-baik saja. Bawah matanya memerah, lembar foto diletakkan terbalik dan ia coba tutupi dengan berada di bawah lengan kirinya. Yang memperjelas semua itu adalah lirik dari lagu yang sedang berputar saat Sabina memasuki kamar Ugi.
Hiruk pikuk ombak berbuih
Menyembunyikan suara tangisanmu yang lirih
Oh, Tuhan yang aku rindukan bukan lah semata hangatnya daratan
Sendiri kau berdoa untuk keluarga yang tak lagi bersama(Di atas perahu-Bin Idris)
"Duduk, Bin." Ugi mendongak, menatap Sabina yang masih berdiri di dekatnya lalu mengulum senyum kecil. Sabina ikut membalas senyum Ugi sebelum kemudian duduk di atas kasur cowok itu. Ugi yang tadi menghadap layar monitornya, memutar kursi.
"Kok nggak bilang mau ke sini? katanya tadi mau langsung pulang abis dari kos-kosan temen." tanya Ugi saat mereka saling berhadapan.
Sabina meraih salah satu bantal untuk dipeluknya. "Iya tadinya gitu, tapi Mama suruh mampir. Nyuruh ambil titipan Bunda Nadia untuk Mama, tadi soalnya ketinggalan pas Bunda udah di jalan. Jadi aku disuruh mampir pas jalan pulang, tapi malah jadi mager pulang sekarang." Sabina menyengir saat menyelesaikan penjelasannya, mengundang kekehan Ugi.
"Udah makan?" Tanya Ugi lagi.
Sabina mengangguk. "Mas Ugi udah?"
"Udah juga. Mana bisa nugas kalo lagi laper, Bin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Your Way Home
RomanceUgi dan Sabina bagaikan dua bagian dari satu jiwa. Mereka berbagi dunia yang di mana hanya mereka yang mengerti tentang apa yang ada di dalamnya. Namun apa yang mereka miliki adalah paradoks. Semakin mereka mengambil langkah untuk mendekat pada sat...