02; while my waves wonder

496 99 53
                                    

Seorang cowok berambut gondrong dan berkacamata terlihat tengah melayani dua orang gadis yang baru saja masuk ke dalam kedai kopi sederhana itu. Ugi berdiri kikuk sembari menunggu dua orang gadis yang sepertinya sebaya dengannya itu memilih jenis minuman yang akan mereka pesan.

"Macha latte sama caramel macchiato aja deh, Mas." Ugi mengangguk sembari memasukkan menu pilihan dua gadis tadi ke layar tablet yang berada di depannya.

"Saya ulangi ya Kak pesanannya. Satu macha Latte, dan satu caramel macchiato."

"Iya. Bisa QR kan di sini, Mas?"

Ugi mengangguk lagi dengan senyum kecil sembari jari-jarinya mengarah ke QR code untuk gadis tadi melakukan payment. "Silahkan discan di sini, Kak."

Usai melakukan proses transaksi pembayaran, netra Ugi mengikuti di mana dua orang gadis tadi menempati kursi untuk nanti mengantarkan pesanan. Setelahnya baru Ugi menyibukkan diri untuk meracik minuman.

Iya, Ugi melakukan pekerjaan paruh waktu di sebuah kedai kopi yang dinamakan House of Twenties. Ugi memutuskan untuk melakukan ini karena ia sedang mempunyai cukup banyak waktu luang semasa tiga bulan semeter pendek ini.

Akan sayang sekali jika ia membiarkan waktu kosongnya berlalu begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Karena koneksi yang dimilikinya, Ugi mendapatkan pekerjaan sebagai barista di sini. Jadi, setiap hari ia akan menghabiskan lima jam waktunya untuk menjadi barista. Cukup untuk menambah uang jajannya.

Bang Bino—sang pemilik kedai kopi sudah mewanti-wanti padanya bahwa ia lebih menawarkan pengalaman, dari pada pundi-pundi uang. Dan Ugi setuju, karena tujuannya bekerja juga bukan hanya untuk mendapat uang. Mama dan Papanya selalu memenuhi kebutuhannya. Seperti yang Bang Bino bilang, Ugi mencari pengalaman sekaligus mengisi waktu luangnya. Berkat pekerjaan ini juga pengetahuan Ugi tentang kopi cukup bertambah, Ugi sekarang sudah cukup bisa membedakan jenis-jenis biji kopi.

House of Twenties sendiri adalah kedai kopi sederhana yang tidak terlalu besar, namun interior dalam kafe tersebut dibuat secozy mungkin, mengingatkan orang-orang dengan suasana rumah nenek karena kesan vintagenya.

Beberapa komik keluaran tahun 90an berjejer rapi di rak-rak kayu yang terletak di sudut ruangan, terdapat beberapa foto hasil jepretan kamera analog Bang Bino sendiri juga terpasang di dinding-dinding kedai kopi ini, juga koleksi vinyl dari berbagai macam musisi serta kaset pita ikut menghiasi ruangan. Dan meski kecil, kedai kopi ini selalu ramai. Walaupun sebenarnya yang kebanyakan datang adalah orang-orang yang familiar, karena kedai kopi ini cukup sering dijadikan tempat tongkrongan.

Alunan lagu berjudul Bekerja dari band bernama Jirapah memenuhi setiap sudut di kedai kopi, menemani kegiatan Ugi sore ini. Selesai mengantarkan pesanan tadi, Ugi kembali membereskan apa yang menurutnya perlu dirapihkan. Sebentar lagi shiftnya akan selesai, bergantian dengan Ratta—rekan kerjanya. Sembari menunggu Ratta datang, Ugi beralih ke dapur untuk mencuci peralatan memasak dan membiarkan Faye—teman yang berada satu shift dengannya berada di depan.

Menjadi barista ternyata tidak melulu tentang membuat kopi. Mereka juga melakukan tugas lain seperti mencuci piring, bahkan membersihkan kedai kopi seperti menyapu dan mengepel ketika akan menutup kedai. Tapi Ugi sebenarnya tidak masalah, membuatnya lebih menghargai pekerjaan-pekerjaan orang lain yang sebelumnya tidak terlalu dipikirkannya.

"Ratta belum dateng?" Ugi menoleh dan mendapati Aqil—rekan kerjanya yang lain sedang mengambil stok bubuk charcoal.

"Bentar lagi kayaknya."

"Ya udah, nggak usah nunggu Ratta dateng lah. Balik duluan aja, bisa gue sama Faye yang handle ini. Lagi nggak terlalu rame juga. Lo juga mau jemput nyokap lo kan."

Light Your Way HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang