Bab 9

14.1K 990 55
                                    

Sinta mengusap kepala menantunya."Hari ini mama sangat bahagia. Pertama kalian menikah dan keadaan kakek juga membaik."

Fisah hanya tersenyum. Saat ini ia sedang gugup luar biasa. Padahal tadi di rumah sakit, ia sudah bersikeras untuk pulang ke rumahnya sendiri tapi ternyata malah diboyong ke sini. Katanya harus ikut ke rumah suami.

"Sudahlah, mah. Biarkan anak-anak masuk kamar dan istirahat. Hari ini mereka pasti lelah."ucap Bahrul membuat Fisah melotot. Masuk kamar?

"Iya,"ucap Sinta lalu menatap putranya."Cepat ajak istrimu ke kamar. Kalau bisa bantu pijat kakinya. Itu akan mengurangi rasa tak nyaman saat hamil."

Laks mengangguk lalu melangkah menuju kamarnya. Sedang Fisah hanya diam seperti patung.

"Sayang, pergilah ke kamar dan istirahat."ucap Sinta dengan senyum tipis.

"Iya, mah."sahut Fisah lalu melangkah mengikuti mama mertuanya.

"Eh mau ke mana?"tanya Sinta kaget karena menantunya malah mengikutinya.

Fisah tersenyum gugup."Kata mama kan disuruh masuk kamar."

Sinta terkekeh mendengar perkataan menantunya."Kamar kalian di sana, sayang. Itu kamar Laks,"tunjuk Sinta pada sebuah kamar di dekat tangga."Kalau yang ini, kamar mama dan papa. Tidak mungkin kan kamu tidur bersama kami di sini."canda Sinta membuat Fisah segera berbalik. Ia malu sekali.

"Dasar anak muda. Padahal sudah bikin anak tapi kok masih malu-malu."gumam Sinta lalu segera masuk ke kamarnya.

Dan di sinilah Fisah sekarang berada. Di depan pintu kamar sang dosen. Ia ingin masuk tapi takut, namun jelas ia tak bisa tetap berdiri di depan pintu seperti ini.

"Apa aku pulang saja?"gumam Fisah lalu melangkah menuju pintu utama. Iya, sebaiknya pulang saja.

Sedang di kamar, Laks yang baru keluar dari kamar mandi hanya mendengus pelan saat tak melihat Fisah. Dia ingin tahu berapa lama gadis itu bisa bertahan tidak masuk kamar.

Namun lima menit berlalu, sepuluh menit, tiga puluh menit hingga satu jam.

"Ya ampun."keluh Laks lalu segera turun dari tempat tidur kemudian melangkah keluar dari kamar.

Ceklek

"Fis__"Laks berhenti saat melihat papanya sedang membaca buku di ruang tengah.

"Kemarilah! Kita tunggu mamamu selesai masak."panggil Bahrul membuat Laks mengangguk. Mamanya sedang memasak, kemungkinan besar Fisah pasti ada di sana membantu. Pantas saja tidak masuk ke kamar.

Laks duduk di samping papanya.

"Sebelum perut istrimu membesar, sebaiknya segera cari waktu yang tepat untuk mengadakan resepsi."ucap Bahrul membuat Laks kaget bukan main.

"Untuk apa resepsi?"

Bahrul menatap tajam putranya."Istrimu sudah mengandung dua bulan dan ada dua bayi. Perutnya pasti akan membesar dengan cepat. Jangan tunggu apa-apa lagi dan segera adakan resepsi. Papa dan mamamu juga akan mendiskusikan ini dengan besan."

"Pah, Fisah tidak ham__"

"Makan malam sudah siap."teriak Sinta dari arah dapur.

Bahrul segera berdiri dan melangkah menuju ruang makan begitupun Laks. Mereka memang belum makan malam. Dan Laks sudah berencana untuk kembali mencoba meluruskan kesalahpahaman yang terjadi malam ini.

"Mana istrimu? Cepat panggil Fisah untuk makan malam."ucap Sinta saat suami dan putranya datang tapi menantunya malah tidak terlihat.

Laks mengernyit bingung."Bukannya Fisah membantu mama memasak?"

Sinta menggeleng."Mana mungkin mama biarkan Fisah membantu mama. Ini kan hari pertamanya di rumah kita."

"Apa istrimu tidak di kamar?"tanya Bahrul.

Laks menggeleng sebagai jawaban membuat Sinta dan Bahrul melotot.

"Lalu di mana istrimu hah?"tanya Bahrul marah.

"Jangan main-main, Laks. Istrimu itu sedang hamil."bentak Sinta.

Laks hanya menghela napas lalu mengusap wajahnya kasar. Benar-benar merepotkan. Ini bahkan belum satu hari setelah menikah.

Sedang di luar, terlihat Fisah tengah duduk di pinggir jalan di dekat pohon mangga. Ia menatap ponselnya yang mati dengan layar yang retak parah. Jika seperti ini, lalu bagaimana ia bisa pulang. Ia tidak bisa memesan ojek atau menghubungi orang tuanya. Rasanya Fisah benar-benar ingin menangis.

"Fisah, sayang.."

Fisah yang sedang menangis segera mendongak. Ia langsung tersenyum saat melihat mama mertuanya.

"Mama."panggil Fisah lalu segera berdiri dan memeluk mertuanya.

"Kenapa menangis di sini, sayang. Kamu mau pulang? iya?"tanya Sinta lembut membuat Fisah diam. Malu sekali jika ia bilang mau pulang. Ia pasti akan dianggap kekanakan dan belum dewasa.

"Mah.. "cicit Fisah pelan.

"Iya, sayang? Lain kali jangan pergi seperti ini ya. Jika kamu merasa tidak nyaman di rumah, katakan saja."

Fisah menggeleng pelan.

"Kamu tidak suka tinggal di rumah mama? Atau__"

"Tidak. Bukan begitu, mah."bantah Fisah cepat.

"Lalu kenapa pergi tanpa bicara lebih dulu?"tanya Sinta membuat Fisah memutar otak. Jangan sampai ia menyinggung mertuanya. Dan ia juga tidak boleh dianggap kekanakan.

"Itu, mah_"tunjuk Fisah pada pohon mangga di dekat mereka."Fisah sebenarnya mau makan mangga."

"Apa?"kaget Sinta lalu menatap pohon mangga yang memang sedang berbuah lebat. Pantas saja menantunya menangis di bawah pohon mangga. Ternyata mengidam.

"Fisah mau itu, mah. Tadi saat lewat sini, Fisah ngiler jadi__"

"Mama mengerti, sayang. Maaf karena mama kurang peka."potong Sinta lalu menatap sang putra.

Laks menggeleng."Itu pohon mangganya tinggi, mah. Kalau jatuh bagaimana?"

"Kalau jatuh juga paling ke bawah, bukan ke atas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Iya kalau cuma jatuh. Kalau patah tulang bagaimana?"

"Kan cuma patah, Laks. Cepat naik dan ambil beberapa mangga."tegas Sinta membuat Fisah langsung menatap sang dosen. Kasihan juga kalau jatuh, mana pohon mangganya memang tinggi sekali.

"Tidak jadi, mah. Fisah tidak mau makan mangga lagi."ucap Fisah cepat.

"Kok gitu? Apa sekarang mau yang lain?"tanya Sinta membuat Fisah mengangguk lalu berpikir buah apa yang kira-kira ada di rumah.

"Apel saja. Di rumah ada apel kan?"

Sinta mengangguk lalu menatap sang putra."Cepat pergi dan beli beberapa apel!"

"Tidak jadi, mah."sela Fisah cepat.

"Tidak masalah, sayang. Laks akan pergi sebentar dan membelinya. Tidak akan lama."

"Kita pulang saja, mah. Fisah ngantuk, mau tidur."

Sinta tersenyum lalu mengangguk."Baiklah. Kita pulang saja. Laks, cepat gendong istrimu!"

Fisah langsung melotot."Tidak perlu digendong kok, mah."

"Ya harus dong. Kan ngantuk. Mama ngerti kok ibu hamil itu gampang capek jadi lebih baik digendong saja."

Fisah menggeleng."Beneran tidak per__eh?"kaget Fisah saat tangannya disentuh lalu ditarik pelan kemudian tiba-tiba saja ia sudah berada digendongan suaminya.

"Kamu ini merepotkan sekali."ucap Laks sembari melangkah kembali ke rumah.

Bersambung

Di Lamar Pak Dosen (New) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang