Bab 39

9.6K 866 15
                                    

"Baguslah kalau sudah akur. Mama senang lihatnya."ucap Sinta membuat Laks mengeratkan rangkulannya pada pinggang sang istri.

"Iya dong, mah. Sudah basah gini rambutnya."canda Laks membuat semua orang tertawa. Sedang Fisah hanya bisa menggeleng pelan dan sebisa mungkin menghindari tatapan mertuanya.

"Sebenarnya tadi malam papa dan kakek telah bicara dan kami sudah sepakat untuk memberikan beberapa usaha agar dikelola oleh Laks."ucap Bahrul membuat Laks menoleh ke arah sang kakek.

"Betul. Kakek sudah tua. Jadi biarkan anak muda yang urus. Karena kamu cucu tertua dan sudah menikah. Kakek rasa kamu pantas untuk diberikan tanggungjawab ini."

"Tapi__"Laks menoleh ke arah istrinya. Masalahnya dia sudah cukup sibuk di kampus. Ditambah beberapa toko yang dia punya. Kalau harus mengurus beberapa usaha keluarga, takutnya akan sangat menyita waktu.

"Mama yakin Fisah akan menjadi istri yang selalu mendukung suami. Kalian bisa bersama-sama mengembangkan usaha keluarga."ucap Sinta membuat Fisah diam. Ia menatap suaminya karena tak tahu harus mengatakan apa.

"Untuk masalah ini, biar Laks diskusikan dulu dengan Fisah. Kami akan beritahu keputusannya nanti."ucap Laks. Karena sebelum mengiyakan, dia harus beritahu istrinya tentang bisnis yang akan dikelola dan betapa sibuknya nanti jika dia menerima tanggungjawab ini.

"Kenapa harus diskusi dulu. Kalian disuruh ke sini ya agar bisa memutuskan dengan cepat. Lagipula semakin banyak usaha, semakin banyak uang yang didapat."ucap kakek. Lagipula dia tak punya orang lain yang lebih kompeten selain cucu tertuanya itu. Dia punya banyak anak tapi selain sudah berumur, mereka juga tidak berpendidikan tinggi.

"Kalau memang terlalu menguras waktu, papa sarankan kamu berhenti jadi dosen. Fokus saja dengan usaha keluarga. Lagipula uangnya lebih besar dibanding jadi dosen."usul Bahrul. Dia sudah keteteran mengurus banyak hal. Takutnya dia punya uang tapi tidak punya waktu untuk menikmati hidup. Karena itu, diusianya sekarang sudah waktunya yang muda mengambil alih.

"Biar Laks pikirkan dulu. Ini juga harus diskusi dengan Fisah untuk mengambil keputusan."ucap Laks. Dia tetap tak bisa terima begitu saja.

"Sebenarnya kamu tidak punya pilihan selain menerima. Tapi baiklah, bicarakan dengan istrimu dan besok kakek ingin mendengar kabar baik."

Laks mengangguk lalu menatap Fisah.

"Abang sebenarnya mau nolak ya?"tanya Fisah saat mereka sudah di kamar.

Laks mengangguk lalu duduk di samping istrinya."Tapi mungkin tidak akan bisa ditolak."

"Kenapa?"

"Karena abang memang cucu tertua. Dan saat itu memang sudah dibicarakan kalau abang menikah, bisnis keluarga harus biarkan abang yang urus."

Fisah mengangguk."Lalu kenapa abang mau nolak?"

Laks segera menatap istrinya."Kakek punya beberapa bisnis, juga tanah kosong yang tersebar tidak hanya di kota ini. Jika abang mengambil alih maka sudah pasti waktu kita untuk berkumpul akan semakin sedikit."

Fisah mengangguk mengerti."Lalu keputusan abang bagaimana?"

Laks menggeleng."Entahlah. Memang kamu siap abang tinggal beberapa kali dalam sebulan?"

Fisah hanya diam.

"Setiap kali pergi, mungkin akan beberapa hari."lanjut Laks lagi membuat Fisah memegang tangan suaminya.

"Kan aku bisa ikut."

Laks tertawa lalu mengusap perut istrinya."Mana bisa ikut. Kamu kan lagi hamil. Tidak baik terlalu sering bepergian. Apalagi kalau ditambah harus kuliah, mana bisa pergi jauh."

Fisah menunduk sedih."Lalu harus bagaimana? Kan abang sudah janji mau jagain aku dua puluh empat jam."

Laks menghela napas lalu memeluk istrinya."Abang juga tidak tahu. Ditolak tidak mungkin, diterima abang yang tidak ikhlas. Apalagi harus ninggalin kalian. Abang mana bisa tenang."

Fisah balas memeluk suaminya."Memang tidak bisa abang urus usaha dari sini? Kan sekarang bisa serba online."

Laks menggeleng."Papa biasa pergi sendiri. Ada beberapa hal yang tidak bisa diurus secara online atau diwakilkan."jelas Laks. Entah bagaimana dulu papanya bisa pulang pergi beberapa kali dalam sebulan. Tapi dulu lebih mudah karena kakek masih sehat tapi sekarang kan beda. Tanggungjawab ingin diserahkan sepenuhnya padanya.

"Jadi dulu papa juga sering pergi? Lalu mama bagaimana?"tanya Fisah membuat Laks mengusap rambut istrinya.

"Ya tetap di rumah. Kadang ikut kalau pekerjaannya bisa santai sambil liburan juga. Apalagi saat abang sudah besar, mama kebanyakan ikut."

Fisah mengangguk lalu menatap suaminya."Kalau mama bisa, aku juga bisa. Mungkin diawal saat anak kita masih kecil, aku bisa tetap di rumah tapi nanti kan bisa ikut abang."

"Kamu yakin?"tanya Laks memastikan.

"Yakin, abang. Nanti saat anak kita sudah besar, aku bisa ikut atau kami ikut abang."

"Sayang, jangan pikirkan nantinya karena yang berat adalah diawal. Apalagi kita baru menikah dan kamu sedang hamil."ucap Laks. Dia tak mau nantinya ada penyesalan.

"Aku yakin kok. Asal abang selalu jaga hati di manapun berada."

Laks mengangguk lalu mencium bibir istrinya."Baiklah. Kalau kamu sudah yakin, abang bisa tenang."

Fisah mengangguk. Lagipula ia sudah putuskan untuk percaya pada suaminya. Semoga saja kepercayaannya itu tidak dilanggar.

Bersambung

Di Lamar Pak Dosen (New) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang