LIMA

407 29 14
                                    

Mereka berdua berhenti di beberapa jarak dari Ka'bah. Sananta masih terus menggenggam lengan Farah tanpa berniat melepasnya. Dia tahu dia melakukan hal bodoh, pasti malaikat menertawakan kelakukannya. Tapi sungguh, bertemu Farah di tengah keramaian manusia lain dengan perbandingan satu banding puluhan ribu adalah sesuatu yang harus dia manfaatkan.

Menyeka wajahnya yang terasa basah karena menangis, Sananta melirik Farah yang menatapnya, tapi lelaki itu sedang tidak berusaha menatap Farah. Pandangannya masih ke Ka'bah, lalu tangannya masih menggenggam lengan yang terasa mungil ditangan Sananta. Debaran jantungnya jangan ditanya, sudah nyarih meletus jantung itu karena menahan debaran tiada henti.

"Abang?" Suara Farah mencoba memecah konsentrasi Sananta mengatur nafasnya.

"Abang kok bisa disini?" Farah mengulangi pertanyaannya. Gadis itu mendongak menatap Sananta yang tinggi menjulang dihadapannya. Bahkan siluet lelaki itu bisa menghalau cahaya matahari dari pandangan Farah.

Karena sudah mengulang pertanyaannya sebanyak dua kali, mau tidak mau Sananta menoleh. Menatap mata bulat dengan iris hitam itu, dibingkai wajah mungil berwarna kemerahan setelah menangis, begitu teduh dan menggemaskan untuk ditatap berlama. Sadar terlalu lama menatap wajah Farah, pandangan Sananta akhirnya kembali kearah Ka'bah.

"Coach Shin meminta kami umroh dan berdoa disini sebelum pertandingan. Beliau baik, toleransi, dan sayang sekali sama kami anak-anaknya. Jadi kami pagi tadi berangkat umroh.

Malah ketemu adek disini.

Dari puluhan ribu orang, abang ketemunya adek. Kenapa ya? Jodoh kali ya kita ini." Ucap Sananta.

"Aamiin.." banyak suara menyahut di belakang mereka.

Suara siapa? Sementara Farah tidak menjawab doanya tadi.

Farah dan Sananta menoleh kebelakang lalu tersipu malu dengan wajah merona dan gandengan tangan yang langsung dilepas kala melihat Egy, Arhan, Witan dan yang lain berdiri dibelakang mereka, mengabadikan momen percakapan keduanya dan mengamini ucapan Sananta.

"Bagus kau Lae ya! Buaya darat minder lihat kelakuan mu Lae!" Seru Witan menurunkan ponselnya.

Sananta membuka dan menutup mulutnya, bingung harus menjawab apa. Sementara Farah gadis itu tersenyum canggung mencoba menetralkan keadaan.

"Kami ketemu disini ngga sengaja kok Mas, beneran deh." Ucap gadis itu sambil tertawa sekenanya.

Egy menggeleng, "Iya makanya si Lae langsung bilang jodoh ya. Manfaatin momen banget didepan Ka'bah."

Arhan tersenyum sambil melihat layar ponselnya, lalu menatap Sananta dan Farah bergantian. "Persiapan ya, dikenalin ke anak-anak lain. Videonya udah gue upload ke grup chat."

Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Sananta menghampiri Arhan lalu melingkarkan lengannya pada leher lelaki itu berpura-pura mencekiknya. Membuat mereka tertawa.

--

Farah baru saja memasuki kamar hotelnya ketika jam mendeketi pukul sebelas malam. Gadis itu meluruskan kakinya, lalu membuka ponselnya, mengecek pesan masuk yang belum sempat dia baca karena tadi dia sedang menon-aktifkan ponselnya. Satu persatu pesan masuk dia baca, hingga satu pesan dengan nomor tak dikenal ikut meramaikan kota masuknya.

+6281234522xxx
Hai Farah,
Ini nomor abang.

M.Ramadhan Sananta

Membaca pesan masuknya, entah mengapa membuat Farah merasa salah tingkah sendiri. Hai ayolah remaja jompo diusia dua puluh tiga tahun masih layakkah tersenyum malu hanya karena pesan seperti ini?

Memutuskan untuk membalas pesannya, Farah menarik nafas terlebih dahulu, menetralkan debaran jantungnya.

Farah Nabila
Iya Abang.
Aku simpan nomor abang ya.
Semoga lancar pertandingan lusa.
Salam untuk teman-teman abang ya.

--

Pukul dua belas malam ketika Sananta baru saja berganti baju setelah latihan yang diselimuti hujan badai berakhir, lelaki itu tersenyum mendapati pesan masuk dari Farah. Pesannya sederhana, hanya mengatakan akan menyimpan nomornya dan memberi dukungan untuk pertandingan lusa, tapi itu sudah membuat Sananta salah tingkah dibuatnya.

Lelaki itu menahan senyum, lalu keluar dari kamarnya mengetuk kamar sebelah yang ditempati Ivar dan Rafael. "Kalian didalam?"

Pintu terbuka menampilkan Rafael yang baru membersihkan diri dan sedang bermain game console bersama Ivar.

"Kau kenapa senyum-senyum?" Rafael curiga menatap Sananta yang masuk ke kamar mereka.

"Aku ingin main game bersama kalian. Hokky sedang menelpon ibunya." Jawab Sananta mengambil salah satu stick game.

Ivar dan Rafael menatap Sananta curiga, lalu menunjukkan video yang ada di group chat mereka. "Kau tidak berniat menceritakan ini kepada kami? Dengan detail? Kan kami tidak satu pesawat denganmu dan tidak ikut kalian ibadah tadi." Ucap Ivar.

Membuat Sananta semakin merasa salah tingkah. Dia menjeda game consolenya, lalu melipat bibirnya merasa malu. "Ah nanti saja jangan sekarang. Sungguh."

Ivar melempar bantal tepat di kepala Sananta dan membuat Rafael tertawa. Anak ini badannya saja besar tapi mudah sekali salah tingkah saat digoda.

Ramadhan Sananta - DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang