Beberapa hari ini desa-desa disekitar tempat tinggal dan tempat Farah mengajar diramaikan dengan berbagai kegiatan. Mulai dari pembangunan saluran air bersih dari sumber air ke desa-desa, pembangunan penampungan air, perbaikan sarana dan layanan kesehatan, hingga instalasi IT untuk penunjang diberbagai sekolah dilaksanakan.
Hari-hari Sananta pun diisi dengan membantu program tersebut. Sesekali Sananta akan main ke sekolah, memberikan coaching clinic bersama murid-murid dan bermain bola bersama mereka. Seperti yang dia lakukan hari ini. Sananta terlihat bermain bola di sekolah dasar tempat Farah mengajar. Lelaki itu terlihat menikmati kegiatannya dibawah langit yang mulai diselimuti mendung.
Setelah percakapan sengit mereka beberapa hari yang lalu baik Farah maupun Sananta belum lagi bersua.
Kelas dua baru saja berakhir saat Farah membuka pintu kelas. Para siswa berhamburan untuk pulang, beberapa siswa laki-laki meletakan tas mereka asal lalu bergabung bermain bola bersama Sananta.
"Bu! Bu Farah! Iki mas e koyo yang di hp Ibu! (Ini mas-nya seperti yang di hp ibu!)" Salah seorang anak berteriak memanggil Farah. Membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan tersenyum kearah anak lelaki yang memanggilnya tadi.
Hal yang sama juga Sananta lakukan. Lelaki itu menghentikan aktivitasnya bermain bola. Mencari Farah ketika dia mendengar seorang anak meneriakan nama favoritnya itu. Sananta menemukan Farah berdiri dengan seragam batiknya, tangannya menggenggam beberapa buku. Senyumnya terukir tertuju pada anak yang memanggilnya.
Sebuah senyuman manis dan penuh ketulusan yang Sananta pernah lihat dahulu, dipertemuan pertama mereka. Senyuman yang membuat degup jantungnya berpacu lebih cepat. Senyuman yang dia rindukan.
"Mas, kok ngalamun. Ayo main bola lagi!" Panggilan anak-anak membuat Sananta kembali ke dunia nyata. Lelaki itu tersenyum lalu mengoper bola dan melanjutkannya bersama anak-anak.
--
Hujan benar-benar turun dengan sangat lebat siang ini. Suasana menjadi gelap meskipun jam baru menunjukkan pukul dua belas. Sekolah sudah sepi, tersisa kelas empat, lima dan enam. Beberapa anak yang terlihat bermain hujan sudah berlari pulang kerumah mereka karena kilat dan petir beberapa kali menyambar.
Farah baru saja keluar dari ruang guru ketika dia berpapasan dengan Sananta. Lelaki itu sepertinya baru saja membersihkan diri karena sudah terlihat segar setelah bermain bola dan bermain hujan bersama anak-anak.
Mengambil ancang-ancang untuk berbalik arah, nyatanya langkah Farah tak secepat langkah kaki Sananta. Lelaki itu menggenggam lengan Farah, tidak erat tapi bisa membuat gadis itu menahan langkahnya untuk menghindari Sananta.
"Farah." Ucap Sananta lembut. Sungguh Farah sempat berhalusinasi ketika mendengar suara Sananta memanggil namanya. Begitu berbeda dengan cara lelaki itu memanggilnya tempo hari di kantor desa.
Gadis itu bergeming, tidak menjawab panggilan Sananta maupun meminta lelaki itu untuk melepaskan genggaman tangannya pada lengannya.
"Bisa kita bicara? Dengan lebih baik daripada tempo hari?" Lanjut Sananta. Nada suaranya lembut, tidak menuntut, tidak ada kesan superior dan tengil disana. "Please." Lanjutnya memohon yang membuat Farah mau tak mau mengangguk ringan.
Disebuah kursi panjang didepan perpustakaan keduanya duduk bersisian. Menatap derasnya hujan turun yang menimbulkan aroma khas tanah basah dan suasana sejuk. Baik Farah maupun Sananta belum ada yang memulai pembicaraan.
Sananta menyandarkan tubuhnya ke dinding, sesekali melirik menatap Farah yang nampak begitu cantik dengan lipstik nude yang melengkapi penampilannya yang selalu sederhana. Berbeda dengan Zahra yang selalu tampil on point dalam setiap keadaan.
Menghembuskan nafasnya berat Sananta memutuskan memulai pembicaraan. "Maaf buat kemarin. Aku pasti terdengar dan terlihat sangat menyebalkan." Ucap Sananta diselipi tawa ringan, menertawakan dirinya dan kebodohannya.
"Dan maaf untuk menyembunyikan Zahra." Lanjutnya.
Farah masih diam, gadis itu hanya mengangguk ringan.
"Aku seneng kita ketemu lagi. Beneran, aku kangen kamu setelah pertemuan terakhir waktu itu. Kamu hilang dan ya kita tidak lagi berkomunikasi. Kamu memutus semuanya." Sananta melirik Farah, gadis itu juga ikut bersandar di dinding menyimak ucapan Sananta.
Melipat bibirnya, Farah nampak bersiap menyampaikan kalimatnya. "Aku merasa bersalah pada Zahra. Aku merasa menghianatinya mungkin? Meskipun aku ngga kenal dia. Kalo aku tau kamu punya pacar. Aku pasti hanya sekedar say hai sama kamu waktu itu."
Tidak gadis itu pungkiri, dia memang terbawa perasaan saat itu. Bagaimana tidak jika lelaki keren dan tampan itu menjadi bagian dari perjuanganmu berdoa di tempat impianmu?
Memperbaiki letak duduknya Sananta berdeham. "Far, aku tahu ini ngga bener tapi kamu tahu ngga sih kalo sejak pulang umroh aku merasa yang aku mau itu kamu, bukan Zahra. Saat itu juga sebenernya aku lagi break, berniat putus sama Zahra tapi dia malah ngajak balikan lagi."
"Dan kamu mau kan?" Sahut Farah cepat.
Sananta menghela nafasnya kasar, frustasi. "Aku mau karena aku merasa berhutang budi pada Zahra dan keluarganya. Dulu aku bisa bertahan dengan Zahra tapi makin lama aku makin sadar ngga ada cinta buat dia. Dan setelah ketemu kamu aku malah yakinnya aku jatuh cinta sama kamu." Sananta menguraikan kalimatnya dengab lancar dan penuh keyakinan. Sudah hampir gila dia menahan rindunya dan ketika dia bertemu dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
"Aku ngga mau jadi alasan kamu meninggalkan Zahra. Aku tidak mau kata-kata cinta kamu itu jadi alasan untuk meninggalkan Zahra."
Memperbaiki posisi duduknya, Sananta menatap Farah mengiba, "Please Far, ijinin aku buat jatuh cinta sama kamu, buat perjuangin kamu. Aku akan selesaikan semua sama Zahra..."
"San, aku udah tahu gimana sakitnya dikhianati oleh orang yang aku cintai. Itu sakit banget San, dan aku ngga mau Zahra atau perempuan manapun ngerasain sakit yang sama.
Kubur aja kalimat kamu jatuh cinta ke aku, atau kamu kangen aku, atau kalimat lainnya.
Mari hidup masing-masing.
Kamu dan Zahra. Aku dan diriku sendiri." Terang Farah berdiri meninggalkan Sananta.
Lelaki itu mengusap wajahnya. Tidak menyangka jatuh cinta pada Farah ternyata serumit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Sananta - Destiny
FanfictionPertemuan pertama dan doa mereka di depan Ka'bah hari itu sepertinya benar-benar diijabah oleh Allah. Hidup mereka jadi berputar-putar dalam titik yang sama, mempertemukan keduanya dalam berbagai keadaan.