SEMBILAN

218 25 5
                                    

Farah.

Ya tidak salah lagi, gadis yang turun dari motor matic tadi yang tersenyum pada seorang lelaki dihadapannya tadi adalah Farah yang selama ini setengah mati Sananta rindukan. Sananta tak mampu melakukan apapun selain menatap bagaimana Farah berjalan bersama dengan lelaki lain dihadapannya dan memasuki gedung kantor desa.

Ketika acara diskusi mengenai rencana CSR kembali dilanjutkan, Sananta memilih duduk disebuah kursi yang berada di tengah ruangan. Tepat di tengah, satu garis lurus dengan posisi Farah berdiri memperkenalkan diri. Menatap gadis dengan seragam guru dengan senyuman yang tak pernah hilang ketika menyapa para tamu. Sepertinya gadis itu belum menyadari kehadiran Sananta.

Pandangan Sananta masih terus terfokus pada Farah. Masih terus menatap gadis itu berceloteh memaparkan berbagai jenis kegiatan dan rencana kerjasamanya. Hingga akhirnya pandangan gadis itu bertemu dengan pandangan Sananta, terkunci pada satu titik membuat keduanya saling menatap dalam waktu yang cukup lama.

Menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering, Farah masih menatap Sananta yang terlihat membidiknya. Lelaki itu duduk melipat kedua tangannya sambil bersandar di kursi, menatapnya penuh senyum dan minat.

Dari sekian banyak manusia, kenapa Sananta yang harus kembali Farah temui secara tidak sengaja?

--

Rombongan tim CSR dan perangkat desa sudah mulai berdiskusi secara lebih serius. Menentukan timeline dan lain sebagainya dalam kursi-kursi yang dibuat melingkar. Beberapa dari mereka bahkan terlihat sibuk dengan coretan-coretan di selebaran kertasnya.

Farah tengah menjauh dari kerumunan. Gadis itu berada di teras sambil menelpon seseorang terlihat beberapa kali tertawa oleh suara seseorang diseberang panggilan teleponnya. Ketika akhirnya Farah mengakhiri panggilan tersebut, gadis itu menyadari ada seseorang berdiri tepat dibelakanganya. Terlalu dekat sampai Farah bisa merasakan hangat suhu tubuh otang tersebut di punggungnya.

"Dan ternyata kita bertemu lagi. Di tempat yang jauh dari Jakarta dan bahkan sangat lebih jauh dari Ka'bah." Suara berat itu menyapa telinga Farah.

Suara yang pernah membuat gadis itu berdebar.

Membalik tubuhnya, Farah mendongak menatap Sananta yang menunduk untuk dapat menatap wajah Farah yang begitu dia rindukan. Wajah yang membuatnya yakin bahwa Farah-lah yang dia inginkan, bukan yang lain.

"Maaf anda siapa?" Jawab Farah, dengan pandangan mencemooh. Gadis itu ingat dia mengatakan pada Sananta untuk menjadi orang asing.

Sananta tertawa perlahan, memasukkan kedua tangannya di saku celana. Menghindari kemungkinan reflek untuk memeluk gadis dihadapannya yang terlihat begitu menantang.

"Perkenalkan. Aku Ramadhan Sananta. Takdirmu." Ucap Sananta tersenyum, memperhatikan wajah kesal yang Farah tampilkan.

Farah mengangguk kecil, "Takdir yang akan aku enyahkan bagaimanapun caranya."

"Tidak akan bisa." Jawab Sananta ringan masih menatap wajah Farah yang begitu menggemaskan baginya.

"Kenapa?"

Menunduk, mendekatkan kepalanya pada telinga Farah, lelaki itu berbisik ringan, "Karena aku pernah menyebut namamu dalam doaku di depan ka'bah. Hari itu saat kita bertemu." Ucapnya sambil menegakkan punggungnya lalu terasenyum.

Menghentakkan kakinya Farah yang merasa begitu kesal akhirnya memilih pergi meninggalkan lelaki itu yang masih tersenyum menahan rasa bahagia yang tiba-tiba memenuhi rongga dadanya.

--

Sananta bagaikan remaja puber jatuh cinta. Itu yang terlihat saat ini. Senyumnya benar-benar tidak padam barang sedetik, pandangannya mengarah pada Farah yang sedang berdiskusi dengan tim CSR. Tidak perduli pandangan aneh dari orang-orang yang menatapnya. Hanya satu yang dia perdulikan. Farah Nabila-nya kembali.

Berdeham, Sananta menghampiri Farah, lalu meletakan kedua lengannya pada belakang kursi yang gadis itu duduki. Membaur menanyakan bagaimana program pendidikan akan dilaksanakan.

"Eh, kan waktu di pesawat adek bilang, murid-murid adek suka sama Abang. Biarlah abang ajak mereka main bola di sekolah. Bagaimana?" Ucap Sananta mengucapkan kalimatnya keras, ingin semua orang tahu bahwa keduanya pernah sedekat itu meskipun beberapa hari.

Orang-orang menatap keduanya dan menggoda mereka membuat Farah cemberut namun merona. "Ini ngga kayak yang kalian kira ya teman-teman. Sudah abaikan saja apa yang Sananta bilang."

Sananta tersenyum melirik Farah yang merona dan mencoba klarifikasi dihadapan beberapa orang lainnya.

"Kalian naik pesawat kemana?" Tanya seorang lelaki yang Sananta kenali sebagai lelaki yang membantu Farah melepas helmnya. Lelaki itu terlihat tidak suka. Okay sepertinya cemburu.

Sananta melingkarkan lengannya pada pundak Farah. "Oh kami ke Jeddah, lalu ke Makkah. Umroh bersama. Bukan begitu Adek Farah?" Sananta menaikkan kedua alisnya tersenyum menggoda Farah.

Farah yang kesal melepas paksa tangan Sananta dari pundaknya, lalu memukul perut lelaki itu. "Diam mulutmu. Berhenti membuatku kesal ya Sananta. Pindah saja ke tim lain." Usir Farah yang justru membuat Sananta semakin gemas dan orang-orang semakin menggoda mereka. Hanya saja lelaki dengan motor matic tadi terlihat kesal dan tidak menyukainya.

Sananta tidak perduli, yang penting baginya Farah-nya sudah kembali.

Ramadhan Sananta - DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang