Program CSR yang Sananta jalani telah berakhir. Lelaki itu kembali ke rutinitasnya seperti biasa. Berlatih dan kembali mengikuti berbagai pertandingan di Liga satu. Memberikan performa terbaik dan berharap menjadi salah satu pilihan Coach Shin ketika garuda calling tiba. Sudah sebulan sejak dia kembali ke rutinitas awal, namun hatinya tetap merindukan satu nama yang tidak pernah dia ketahui akankah bisa untuk dia miliki suatu hari nanti, Farah.
Farah terlalu berpendirian bagi Sananta yang mudah goyah karena senyumannya. Farah terlalu membuatnya jatuh cinta hingga dia nyaris meninggalkan Zahra. Sebenarnya bukan nyaris tapi akan. Zahra terus menanyakan tentang kapan pertunangan mereka akan dilaksanakan. Tapi Sananta bahkan belum yakin akan benar-benar melamar gadis itu.
Kali ini bukan karena Farah, tapi karena Sananta sudah yakin seratus persen bahwa perasaannya pada Zahra bukanlah cinta tapi karena lelaki itu merasa ada budi yang harus dibalaskan kepada keluarga Zahra atas kesuksesannya saat ini.
Sananta tengah duduk di ruang tengah apartemennya dan melamun ketika Zahra tengah sibuk memasak untuk makan siang keduanya. Lelaki itu sedang berpikir bagaimana cara mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada Zahra tanpa menyakiti gadis itu.
"Sayang kamu ngalamun aja sih? Aku udah panggil kamu dari tadi lho." Ucap Zahra memecah lamunan Sananta.
Merasakan pelukan Zahra melingkar dipundaknya membuat Sananta kembali dari kenyataan. Dia memperbaiki duduknya, melepas pelukan Zahra dan berbalik menatap wajah yang selalu terlihat cantik dengan berbagai makeupnya. "Maaf aku agak capek. Ada apa?"
"Makan, sudah siap. Aku udah masak sayang. Yuk?" Ucap Zahra.
Sananta mengangguk, lalu menahan lengan Zahra. "Setelah makan, kita ngobrol bentar ya."
Ucapan lelaki itu terdengar serius. Ada guratan sendu disana namun ada rasa bersalah dan sedikit keraguan yang mencoba dia tutupi.
Zahra mengangguk ringan dan tersenyum sebagai jawaban. Gadis itu menarik Sananta dan memimpin langkah menuju meja makan.
--
"Kita udahan aja. Aku ngga bisa lanjutin semuanya sama kamu." Suara Sananta terdengar bergetar ketika menyampaikan keputusannya pada Zahra.
Lelaki itu sudah yakin bahwa ini saat yang tepat untuk mengakhirinya. Sebelum dirinya melanjutkan pertunangan dengan Zahra dan justru semakin menyakiti gadis itu.
"Apa sih sayang? Bercanda aja deh sukanya." Zahra tertawa ringan sambil memainkan ponselnya.
Sananta meraih tangan gadis yang sudah cukup lama menjadi bagian dari hidupnya. Sananta mengenal Zahra sejak keduanya masih di bangku sekolah dasar. Sananta tidak pernah benar-benar mencintainya. Semua rasa hanya rasa ingin melindungi dan membalas hutang budi.
"Aku serius Zahra. Aku ngga mau nyakitin kamu." Sananta menatap dalam mata Zahra, membuat gadis itu mengabaikan ponselnya dan beralih menatap dalam Sananta.
"Kalo kamu keberatan soal pertunangan kita bisa bilang ke orang tua aku."
"Aku ngga cinta sama kamu Zahra. Aku sayang kamu tapi bukan sebagai pasangan, kekasih, calon istri bukan. Aku ngga bisa mencintai kamu seperti orang dewasa."
Zahra terdiam, ada rasa nyeri yang bercampur terkejut mendera hatinya. "Kenapa? Kalo kamu ngga bisa cintai aku seperti orang dewasa kenapa kamu pertahankan hubungan kita selama ini?"
Mengusap wajahnya frustasi Sananta bersandar menatap langit-langit apartemennya. Dia tau dia tak ubahnya lelaki bajingan kali ini. "Aku merasa hutang budi pada keluargamu. Karena keluargamu aku bisa seperti ini. Aku sayang kamu tapi hanya sebagai adik kakak. Aku tau aku salah aku mau saja menjalin hubungan ini denganmu tapi itu artinya aku membohongi kamu Zahra."
Bulir air mata menetes dari kedua sudut mata Zahra. Tidak percaya atas apa yang dia dengar. Selama ini ternyata lelaki yang telah dia cintai sepenuh hati tak pernah memiliki perasaan yang sama untuknya.
"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Maafkan aku sungguh." Sananta megenggam tangan Zahra. "Kita ke Jakarta lusa, aku akan menyampaikan semuanya dan meminta maaf pada keluargamu atas perbuatanku selama ini."
Tak ada jawaban dari Zahra, gadis itu masih tenggelam dalam tangis sedihnya tanpa suara. Sementara Sananta lelaki itu merasa sedikit lega namun masih ada yang mengganjal dalam hatinya.
Zahra, maafkan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Sananta - Destiny
FanfictionPertemuan pertama dan doa mereka di depan Ka'bah hari itu sepertinya benar-benar diijabah oleh Allah. Hidup mereka jadi berputar-putar dalam titik yang sama, mempertemukan keduanya dalam berbagai keadaan.