Bab 5

7.1K 1K 73
                                    

Semakin malam udara semakin dingin padahal di ruang tengah hanya ada kipas angin yang nyala dengan kecepatan paling rendah. Kemudian Bitha menoleh ke samping, melihat Tante Lala tampak nyaman dan tetap menonton TV tanpa merasa kedinginan seperti dirinya.

Setelah makan malam bersama, Tante Lala memilih menonton TV di ruang tengah. Bitha yang tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya ikut bergabung dengan Tante Lala. Sebelumnya ia jarang sekali menonton TV, apalagi acara TV dalam negeri. Biasanya ia lebih suka menonton film, series atau bahkan reality show dari Amerika, Korea, China, Jepang atau bahkan Thailand. Bukannya fokus ke layar TV, tatapan Bitha malah fokus memandangi Tante Lala. Perawakan Tante Lala tidak beda jauh dari Maminya. Di lihat dari penampilan, dua wanita itu memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Mami tipe wanita yang elegan dan selalu ada barang mewah melekat di badan, sedangkan Tante Lala sosok wanita sederhana dengan tatapan teduh dan senyum lembutnya.

Karena merasa diperhatikan, akhirnya Tante Lala menoleh dan bertemu pandang dengan Bitha. "Kenapa kok ngelihatin Tante? Kamu kedinginan ya?" tanyanya seakan bisa menebak isi pikiran Bitha.

Bitha menggeleng, tapi tak lama kemudian mengangguk.

"Kipasnya mau dimatiin?"

Bitha tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik, akhirnya ia menggeleng. "Nggak usah, Tan. Lebih baik kipasnya tetap nyala aja."

"Beneran nggak papa?" tanya Tante Lala memastikan.

"Aku lebih baik kedinginan daripada kepanasan, Tan," jawab Bitha dengan cengiran lebar.

"Galen!" teriak Tante Lala.

Tak butuh waktu lama sosok Galen yang tinggi dan besar muncul, menutupi layar TV. "Ada apa, Ma?"

Bitha masih saja terkesima dengan suara berat dan seksi milik Galen. Wajar kalau laki-laki itu jarang mengeluarkan suara, karena ia bisa menjamin suara Galen bisa meruntuhkan pertahanan perempuan mana pun.

"Bitha kedinginan, tolong kamu ambilin selimut tebal di lemari kamar Mama."

"Eh, nggak usah Tante. Aku nggak papa kok," tolak Bitha dengan wajah panik.

Galen sempat melirik sekilas perempuan yang duduk di sebelah Mamanya, sebelum akhirnya ia berlalu pergi untuk mengambilkan selimut sesuai dengan perintah Mamanya. Kemudian ia kembali membawa selimut bewarna biru dan diberikannya pada perempuan itu.

"Ma-- makasih."

"Hm."

Bitha lagi-lagi hanya melongo. Mungkin Galen memang tidak suka berbicara panjang lebar pada orang asing seperti dirinya. Respon favorit laki-laki itu adalah sebuah gumaman pendek yang tidak terdengar jelas.

"Galen itu hampir nggak pernah senyum. Udah wajahnya kelihatan galak, ditambah nggak pernah senyum. Orang-orang pada takut lihat dia," ucap Tante Lala begitu anaknya sudah tidak ada.

Bitha membentangkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia sempat menawari Tante Lala untuk berbagi selimut, tapi Tante Lala tidak mau. "Emang muka Mas Galen udah settingan-nya kayak gitu ya, Tan?"

Bukannya tersinggung, Tante Lala justru tertawa. "Udah dari pabriknya dan nggak bisa diubah."

Bitha manggut-manggut.

"Kalo dia senyum dikit aja, Tante yakin wajah dia nggak akan seram banget."

"Emang anak Tante yang nomer dua sama juga kayak Mas Galen?"

Tante Lala melupakan tontonannya di TV dan mulai fokus menatap Bitha. "Rayan itu beda banget sama Galen. Anak Tante yang nomer dua itu lebih banyak senyum dan supel."

Bitha for the BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang