Keputusan

492 68 12
                                    

Menggunakan meja sebagai tumpuan sikunya untuk menopang dagu, duduk memandangi buku harian di depannya yang telah tertulis rapi. Pikirannya kembali melayang ke kejadian malam itu, malam saat perayaan kelulusan Gery dan sahabatnya di rumah ini.

-- flashback on --

Malam hari yang sunyi diiringi deru lembut detak jam dinding yang kini menunjukan pukul 2 pagi, Gracia terbangun dari tidurnya. Merasakan kering di tenggorokannya, bergerak mengambil segelas air yang telah disiapkan diatas nakas sebelah tempat tidurnya. Dirasa dahaganya cukup terpuaskan, ia berniat kembali tidur.

Tepat saat matanya akan terpejam, pandangannya teralihkan pada tirai yang menutup pintu menuju ke balkon kamarnya terbuka. Ia menyalakan lampu tidur, melihat bahwa Shani tidak ada disebelahnya. Gracia pun bangkit dari kasur, berjalan menuju tirai untuk menutupnya. Saat sampai, ia melihat Shani berdiri bersandar pada pembatas menatap langit diluar sana.

"Ci, kenapa belum tidur?" tanya Gracia yang kini berdiri disebelah Shani.

"Hey, kamu kebangun?" tanya balik Shani sedikit terkejut dengan kehadiran Gracia disebelahnya.

"Iya, Ci. Aku kebangun karena haus terus pas mau tidur lagi, baru sadar ga ada Cici disebelah" Gracia menjelaskan.

"Oh gitu" Shani kembali menatap langit.

"Masih tentang tadi sore, Ci?" Gracia mencoba menebak isi pikiran Shani.

Huh~ helaan nafas Shani keluarkan, "Menurut kamu, mending ke Jogja dengan kerjaan yang udah pasti, atau stay disini sambil nyari kerjaan?" lanjutnya masih menatap langit.

"Apapun keputusan Cici, aku dukung" jawab cepat Gracia.

"Hm, mungkin aku bakal ke Jogja" ucap Shani pelan, sangat pelan hampir sebuah gumaman. Namun Gracia tetap mendengarnya.

"Cici kepikiran temen-temen Cici ya?" tanya Gracia lagi.

"Iya, mereka udah banyak bantu aku, udah kayak keluarga aku, support system aku.." Shani kini menatap Gracia, "Dan ada kamu juga disini" sambungnya.

Deg– mendengar dan ditatap seperti sekarang oleh Shani jantung Gracia terasa ingin berhenti. "Hah? A-apa, Ci?" ucapnya gugup.

"Aku ngerasa punya kamu sebagai adik. Aku juga udah anggap kamu sebagai keluarga aku" ucap Shani tersenyum kepada Gracia, "Tapi mungkin keputusan aku buat balik ke Jogja udah tepat. Disana, aku ditawarin kerja sebagai manajer, gajinya juga lumayan" jelasnya.

Debaran jantungnya kembali normal kala mengetahui Shani hanya menganggapnya sebagai adik, namun benaknya dengan cepat beralih ke hal yang lebih ia pikirkan, "Maaf sebelumnya, Ci" Gracia menjeda sejenak, "Aku boleh tau alesan Cici butuh banget uang?" Gracia yang memang penasaran memberanikan diri untuk bertanya.

Shani tersenyum mendengar pertanyaan Gracia, "I have a lot of debts, Gracia" tanpa mengalihkan pandangannya kepada manusia disebelahnya, "I mean, my family" sambungnya ketika melihat wajah bingung Gracia.

"Keluargaku bahagia sebelumnya, lebih tepatnya sebelum perusahaan Papa bangkrut. Semenjak bangkrut, Papa jadi emosian, Papa kasar ke Mama, aku pun kena imbasnya. Waktu itu umurku sekitar 13 tahun, ada orang datang ke rumah ngasih kabar kalo Papa kecelakaan. Aku sama Mama panik langsung pergi ke rumah sakit. Di rumah sakit, ada polisi datengin Mama. Polisi itu bilang Papa nyetir sambil mabuk berat, dia nabrak orang lagi nyebrang pas lampu lagi merah sampai akhirnya Papa berhenti waktu mobilnya nabrak pohon dipinggir jalan" tanpa sadar setetes air mata keluar dari mata cantik Shani.

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang