IX. Dongeng Marsinah (Sajak Puisi)

27 13 23
                                    

Kini pukul empat petang. Kegiatan Wiji Project sudah akan dimulai. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, setiap anggota sudah siap mengikuti jalannya acara.

Akan tetapi ada yang baru kali ini, Wiji Project kedatangan sesosok tamu. Beliau adalah Bapak Wijen Sugiarto. Aktivis HAM yang namanya akhir-akhir ini bermunculan di layar TV. Di Jumat sore itu, mata para mahasiswa nampak berantusias berkali-kali lipat. Jarang-jarang mereka kedatangan tamu dari luar kampus. Rukma yang baru melihatnya saja langsung bersemangat. Ia tidak sabar mendengarkan puisi yang akan beliau bawakan. Jangan tanyakan keberadaan Pram, karena jelas pria itu sedari tadi berada di sisi Rukma. Ingat ia adalah buaya darat yang selalu siap menerkam mangsa. Berhati-hatilah!

Kali ini Bapak Wijen Sugiarto mengusung puisi dari salah satu pujangga ternama Indonesia. Sapardi Djoko Damono. Puisi yang akan dibawakannya ialah 'Dongeng Marsinah' dari buku yang berjudul 'Ayat-ayat Api'

"Saya ini marsinah," suara Bapak Wijen menggelegar. Khas suara pria dewasa berumur lima puluhan.

"saya tak mengenal wanita berotot,

yang mengepalkan tangan,

yang tampangnya garang di poster-poster itu;

saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara,

dan tidak tahu harga sebuah lencana.

Malaikat tak suka banyak berkata,

Tapi lihat, ia seperti terluka.."

Ini bukan sekedar puisi. Kata beliau kepada mahasiswa Wiji Project. Ini adalah cerita Indonesia. Ketika bagimana buruh-buruh meminta haknya kepada pemerintah. Ketika buruh-buruh menyuarakan ketidakadilan yang mereka dapatkan. Ketika buruh-buruh ingin suaranya didengar dengan lantang. Ketika yang mereka inginkan hanyalah sesuap nasi untuk sanak saudara.

Namun sayang beribu sayang. Marsinah. Seorang buruh pabrik arloji akhirnya harus merelakan nyawanya terenggut oleh aparat tak bertanggung jawab. Dirinya dihabisi secara membabi buta. Ditinggalkan di balik semak-semak belukar.

Marsinah diseret

dan dicampakkan

sempurna, sendiri.

Dasar keparat keparat sialan.

Adapun salah satu kutipan dari puisi tersebut yang tak kalah menyayat. Bapak wijen Sugiarto kembali membacakan kutipan puisi,

"Saya ini marsinah,

buruh pabrik arloji.

Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir

ke dunia lagi; jangan saya dikirim

ke neraka itu lagi.

Malaikat tak suka banyak berkata,

ia sudah paham maksudnya."

Lihat.

Penggalan itu penuh akan makna. Dan lagi-lagi Bapak Wijen menjelaskan dengan tutur kata lantang nan tertata, membuat para mahasiswa seolah-olah disadarkan kembali akan betapa kejamnya orde itu. Ketika pemerintah mengambil alih segalanya dan dengan mudahnya membungkam suara rakyat. Ketika beberapa oknum lebih mementingkan perutnya sendiri. Indonesia yang kaya akan sumber daya, yang seharusnya menjadi surga bagi rakyatnya, telah berubah menjadi neraka. Tempat akan lintah menghisap tanah.

Dasar keparat-keparat sialan.

Namun tentu tidak ada yang peduli dengan orang kecil. Selagi mereka hidup dengan tenang, nyaman, suara-suara rakyat hanyalah gonggongan anjing yang menyalak. Hingga saat ini suara rakyat akan didengar hanya ketika pemilu datang. Lintah lintah itu yang bergantian menggonggong mengucapkan janji-janji manis. Buaian-buaian palsu yang bahakan legitnya saja bisa mengalahkan buah kurma.

Sungguh, penjilat ulung.

Dalam pertemuan pada Jumat petang itu tidak ada yang berani menyela. Bahkan mahasiswa yang hendak pergi ke bilik toilet pun harus berpikir berkali-kali agar tidak ketinggalan jalannya acara. Semua bungkam mendengarkan gagasan dari seorang pembela hak asasi manusia yang tidak pernah dibayar itu.

Ruang perpustakaan itu kembali sunyi. Hening.

"Kalian ini manusia-manusia cerdas," ucapnya.

"Janganlah kalian ini dengan mudahnya menjilat ludah sendiri. Hari ini katanya a, besok lusa sudah beda lagi. Tetaplah menjadi manusia yang berpegang teguh pada prinsip kebaikan. Tetaplah menjadi rakyat yang berbudi pekerti."

Pada akhirnya Bapak Wijen Sugiarto menjelaskan peran menjadi rakyat dari tanah leluhurnya sendiri. Peran menjadi seonggok manusia yang bermoral. Berkemanusiaan.

"Maka setiap kalian hendak melakukan tindak asusila, ingat pesan bapak ini baik-baik,"

"Apakah Indonesia akan bangga?"






*****
Selamat membaca bab baru teman-teman. Mohon maaf apabila ada kata / kepenulisan yang kurang tepat. Cerita diatas tidak dimaksudkan untuk ditujuan kepada pihak-pihak tertentu. Cerita diatas hanyalah murni cerita biasa :)

Terima kasih karena telah membaca bab ini. Sampai jumpa, jangan lupa kembali lagi. See you...

✌️🌌✌️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan di Planet BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang