Pintu rumah terbuka lebar dengan lampu menyala menerangi. Suara teriakan menggema dari dalam rumah ketika Rukma sampai. Perempuan itu segera turun dari motor sembari melepas helmnya, meninggalkan Pram yang terheran-heran. Segera Rukma masuk menuju sumber suara yang berada di dapur.
"Mbak.." Bi Sri dengan wajah paniknya kini sedang berusaha menenangkan sang majikan yang tengah meradang. Wanita berumur itu menggenggam kedua lengannya dari belakang.
"Dasar bajingan!!" Teriak ibu rukma, dengan airmata yang membasahi pipinya disertai amarah meletup-letup memandangi secarik foto yang entah didapatinya darimana. Foto itu berisikan foto keluarga Rukma ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Mati kamu Puji! Mati saja kamu! Arghhh.." tubuhnya terus memberontak mencoba melepas cengkraman.
"Ma, ini Ruru. Mama tenang ya," sembari menangis Ruru berjalan mendekat ke arah ibunya. Namun semakin didekati wanita berumur itu malah semakin berteriak histeris, membuat Rukma bergetar sedih.
"Bik, ibu udah dikasih obat penenang?" Dengan suaranya yang parau, Rukma berusaha menguatkan dirinya.
"Belum mbak." Segera Rukma berjalan ke kamar, mengambil persediaan obat yang ada.
Tak lama, ia kembali dengan botol obat di genggaman tangannya. Segera ia mengambil air dan berusaha meminumkan obat itu dengan paksa. Namun naasnya sebelum ia bisa memberi obat, Rukma didorong kuat oleh ibunya sendiri yang membuat ia terjungkal kebelakang.
Tangan kekar seseorang menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Pram. Lelaki itu masih disana melihat sebagaimana berantakannya rumah perempuan itu.
"Lo nggak apa-apa?" pertanyaan itu tidak terjawab, bukan karena Rukma kesal terhadap Pram, melainkan ia tidak tau apa yang harus dikatakan. Ia sedang tidak baik-baik saja! Itulah yang inginnya disampaikan. Namun, mulutnya tertutup rapat. Buliran air menetas pelan dari matanya yang ayu.
"Biar gue yang kasih obatnya." Pram mengambil obat dan mug berisi air yang tadi sedikit tumpah. Didekatkan tubuhnya kepada ibu Rukma, dibantu Bi Sri, Pram dengan tenang berusaha meminumkan obat itu.
Perlahan wanita itu mulai tenang. Matanya tidak meletup-letup seperti beberapa waktu yang lalu dan tubuhnya kembali rileks dan lemas. Melihat itu, Pram berinisiatif memapah ibu Rukma sampai ke kamarnya. Dibaringkannya wanita itu yang kemudian tertidur anteng dan diselimuti oleh Bi Sri.
Sedang di lain sisi Rukma hanya mampu melihat itu semua dari daun pintu. Air matanya sudah kering. Hanya ada bekas tangisan yang membuat matanya memerah.
*****
Pram dan Rukma berada di teras. Suasana hening menyelimuti keduanya. Suara angin malam dan cahaya rembulan-lah yang mau menemani mereka. Lampu-lampu jalan sudah berpijar menerangi jalanan beraspal. Lelaki itu hendak pamit kepada sang pemilik rumah,
"Gue pamit." Rukma menjawab dalam kediamannya.
"Udah jangan nangis lagi, nanti lo jadi jelek,"
"Atau lo jelek aja ya, biar nggak ada yang mau sama lo selain gue. Ha..ha.." Cowok itu mencoba berkelakar yang hasilnya pun sia-sia. Rukma dengan ekspresi datarnya memandang Pram dalam keheningan, membuat lelaki itu mati kutu ditempatnya.
"Terima kasih sudah bantu saya hari ini." ujar Rukma memilin kedua tangan di depan perutnya.
"Eits.. yang gue lakuin tadi itu enggak gratis." ucap Pram dengan senyum konyolnya.
"Lo harus bayar pakai risol yang dibuat spesial cuma buat gue." Pernyataan itu membuat suasana hati Rukma sedikit membaik. Gadis itu mendengus lirih.
"Iya besok saya bawakan. Sekali lagi terima kasih, ya!" Pram hanya tersenyum mendengarnya.
Di bawah naungan langit malam disertai gemerlap bintang-bintang, Pram berpamitan. Mengendarai motor matic setelah mengenakan helmnya, lelaki itu mulai keluar dari pekarangan rumah. Meninggalkan Rukma dengan rasa gundahnya.
***
Bab baruu lagii😁Menurut kalian Pram itu red flag♦️ or green flag🟢??🤔😄
Jangan lupa 🌟 and komennya ya :)
Terima kasih sudah membaca jangan lupa kembali lagi.
See u in the next chapter 🙌🏽🙌🏽
💤💋🦴
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Planet Bumi
أدب الهواةRukma Ila Nareswari tau bahwa dunia ialah tempat yang penuh akan tipu daya. Dalam kegelapan, ia akan bertumpu pada kedua kakinya sendiri. Tanpa berharap pun mencari. Ia akan melangkah kuat tanpa perlu tangan yang menggenggam. Baginya perasaan hanyal...