Matahari telah tenggelam, meninggalkan langit berwarna ungu tua yang diselimuti bintang-bintang. Di dalam rumah kecil itu, keheningan merayap, hanya diselingi oleh suara jam dinding yang berdetak pelan. Ruang keluarga yang dulu sering dipenuhi tawa kini lebih banyak dipenuhi keheningan, terpisah oleh jarak emosional yang tak terlihat.
Ibu, seorang wanita yang telah kehilangan banyak, duduk di sudut ruangan. Matanya yang tajam tertuju pada pintu kamar anaknya yang masih tertutup rapat. Keheningan malam tak mampu meredam kegelisahannya. Suaminya, satu-satunya teman dan pelindung, telah tiada, meninggalkannya sendirian untuk membesarkan anaknya, Aisyah, dalam tuntunan agama. Setelah kepergian suaminya, ibu berjanji untuk memperdalam agamanya, menjadi lebih kuat, lebih teguh, meskipun hatinya sepi. Tak ada ruang untuk pernikahan lagi, hanya ada ruang untuk cinta kepada Sang Pencipta.
Penampilannya berubah total sejak saat itu. Kaus kaki hitam, sarung tangan hitam, abaya besar yang menjuntai ke bawah, dengan pergelangan karet yang memastikan setiap inci kulitnya tertutup rapat. Ciput yang menutupi rambutnya dengan rapi, diikuti kerudung labuh yang memanjang hingga selutut. Bagi dunia luar, ia mungkin terlihat terlalu kaku, tetapi bagi ibu, ini adalah simbol ketundukan, pengingat bahwa dunia ini hanya sementara.
Namun, Aisyah tidak mengerti. Remaja itu selalu menolak ketika ibu meminta agar ia setidaknya shalat atau memakai kerudung. Setiap perintah agama terasa seperti belenggu baginya, bukan perlindungan. Malam ini adalah puncaknya. Ibu sudah terlalu sabar, terlalu banyak memberi nasihat yang tak dihiraukan. Ia tahu, kali ini ia harus bertindak.
Dengan langkah tenang namun tegas, ibu berjalan menuju kamar Aisyah. Tangannya bergetar sedikit saat ia meraih gagang pintu, tapi hatinya teguh. Ia mengetuk pintu, sekali, dua kali, namun tak ada jawaban. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu dan masuk.
Di sana, Aisyah duduk di sudut tempat tidurnya, wajahnya menunjukkan ketidakpedulian. Ibu berdiri di depan anaknya, diam sejenak. Tanpa berkata apa-apa, ia memegang lengan Aisyah dan menariknya berdiri. Aisyah mencoba melawan, tetapi ibu lebih kuat kali ini. Dengan suara rendah namun penuh otoritas, ibu berkata, "Diam."
Aisyah membeku. Ibu mengarahkan anaknya ke arah lemari pakaian di sudut ruangan. Dengan tenang, ia membuka lemarinya, mengambil satu set pakaian serupa dengan miliknya. Tanpa basa-basi, ia mulai menanggalkan pakaian Aisyah. Protes dan air mata tak membuat ibu goyah. Setelah Aisyah benar-benar tanpa daya, ibu mulai memakaikan pakaian itu padanya.
Kaus kaki hitam, sarung tangan hitam, abaya lebar yang menutupi seluruh tubuh. Namun, kali ini ada tambahan: masker medis, niqab, dan jaket tebal dengan resleting yang ditarik hingga ke leher. Setiap bagian tubuh Aisyah sekarang tertutup rapat, lebih dari sekadar tuntunan agama, ini adalah pelindung, simbol kekuatan seorang ibu yang tak lagi mengenal kata lunak.
Sambil menatap dalam-dalam ke mata anaknya, ibu berkata dengan tegas, "Inilah pakaian sehari-hariku, setiap hari. Jangan membukanya tanpa seizin ibu."
Suara ibu rendah, namun ada kekuatan tak terbantahkan dalam setiap kata yang diucapkannya. Aisyah hanya bisa menatap dengan pandangan kosong, ketakutan dan kekecewaan bercampur aduk di dalam dirinya. Ini adalah pertempuran pertama dari banyak pertempuran lain yang mungkin akan datang, tapi bagi ibu, ini adalah awal dari perjuangan untuk menyelamatkan jiwa anaknya.
Dengan langkah perlahan, ibu meninggalkan kamar itu, membiarkan Aisyah berdiri sendiri dalam balutan pakaian yang tak biasa. Pintu ditutup pelan, dan keheningan kembali memenuhi rumah itu, tapi kini ada sesuatu yang berbeda. Sebuah babak baru telah dimulai dalam kehidupan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrol Ketat Ibu Terhadap Aisyah
SpiritualCerita ini mengisahkan Aisyah, seorang remaja perempuan yang hidup di bawah kontrol ketat ibunya yang sangat religius dan disiplin. Sejak kehilangan suaminya, sang ibu bertekad untuk mendalami agama dengan sepenuh hati dan menerapkan aturan ketat da...