Perjalanan telah berlangsung cukup lama, dan Aisyah mulai merasa tidak nyaman. Perutnya mulai memberontak, dan ia merasakan dorongan yang tak tertahankan. Ia mencoba menahan, tetapi rasa tidak nyaman itu semakin menguat. Akhirnya, dengan nada cemas, ia memanggil ibunya.
“Bu, aku ingin buang air besar. Bisa berhenti sebentar?”
Ibu menatap Aisyah melalui kaca spion dengan pandangan tenang, lalu berkata dengan suara datar, “Kau lupa? Kau menggunakan popok.”
Jawaban itu membuat Aisyah merasa kesal. Bagaimana mungkin ibunya berharap ia benar-benar menggunakan popok itu? Ia berniat menahannya sekuat mungkin, menahan rasa malu dan ketidaknyamanan yang kini semakin tak tertahankan.
Namun, efek dari sahur pagi tadi membuat semuanya semakin sulit. Tubuhnya akhirnya menyerah, dan terdengarlah suara yang memalukan. Aisyah merasa hancur, rasa malu menguasainya sepenuhnya.
Ibu menoleh perlahan, melihat Aisyah dengan pandangan yang seolah mempermalukannya. Tanpa berkata apa-apa, ibu menutup hidungnya dan tersenyum, senyum yang bagi Aisyah terasa seperti ejekan. Ibu tetap tenang, seolah-olah peristiwa ini adalah bagian dari pelajaran yang ingin ia ajarkan kepada Aisyah.
Dalam diam, Aisyah merasa semakin terkucil. Perjalanan ini bukan hanya tentang jarak fisik, tetapi juga tentang jarak emosional yang semakin melebar antara dirinya dan ibunya. Tidak ada tempat untuk melarikan diri, tidak ada tempat untuk bersembunyi dari perasaan malu yang kini menyelimuti dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrol Ketat Ibu Terhadap Aisyah
EspiritualCerita ini mengisahkan Aisyah, seorang remaja perempuan yang hidup di bawah kontrol ketat ibunya yang sangat religius dan disiplin. Sejak kehilangan suaminya, sang ibu bertekad untuk mendalami agama dengan sepenuh hati dan menerapkan aturan ketat da...