Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari ketika ibu memasuki kamar Aisyah. Cahaya redup dari koridor sedikit menyinari wajahnya yang tampak penuh ketenangan. Ia berdiri sejenak di tepi kasur, memandang anaknya yang masih terlelap. Keringat membasahi kerudung, cadar, dan pakaian Aisyah, menandakan betapa beratnya malam yang ia lalui.
Ibu mengusap lembut bahu Aisyah, membangunkannya dengan sentuhan yang penuh kasih. "Sayang, bangunlah. Waktunya sahur," bisiknya.
Aisyah menggerakkan tubuhnya perlahan, membuka mata dengan kantuk yang masih menggelayut. Di depan ibunya, ia tak punya pilihan selain menurut. Dengan lemah, ia bangkit dan mengikuti langkah ibunya menuju meja makan.
Mata Aisyah sedikit terbelalak saat melihat makanan yang sudah tersaji di meja. Piring-piring berisi nasi, lauk sederhana, dan beberapa potong kurma. Aisyah duduk dengan tubuh masih terasa lelah dan panas. Tanpa berpikir panjang, ia mulai mengulurkan tangan untuk melepas masker dan cadarnya.
Namun, sebelum ia sempat melakukannya, tangan ibunya menahan lengannya. “Belajarlah makan menggunakan cadar,” ucap ibu lembut namun tegas. “Turunkan maskermu sedikit, dan makanlah di dalam cadar. Anggap ini bagian dari pelatihanmu.”
Aisyah terdiam, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Ia menatap ibunya sejenak sebelum berkata dengan nada protes, “Kenapa ibu tidak memakai cadar? Ini tidak adil.”
Ibu tersenyum tipis, menjawab dengan suara yang tetap tenang, “Aisyah, kamu ini perempuan cantik yang masih muda. Ibu sudah tidak perlu cadar lagi, tapi kamu, kamu harus menjaga dirimu lebih baik.” Kata-katanya mengalir dengan kelembutan, tetapi sarat makna yang dalam, seolah-olah ada sesuatu yang lebih dari sekadar perintah.
Dengan enggan, Aisyah menurunkan maskernya sedikit dan mulai makan di balik cadarnya. Setiap suapan terasa canggung, tidak alami, tapi ia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Dalam diam, ia menelan makanan sambil terus merasakan ketidakadilan yang menggumpal dalam hatinya.
Setelah mereka selesai makan, ibu bangkit dan kembali dengan empat botol besar air mineral, masing-masing berukuran 1,5 liter. Ia meletakkannya di depan Aisyah tanpa berkata apa-apa. Aisyah menatap botol-botol itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangannya kepada ibunya seolah meminta penjelasan.
Ibu duduk kembali dan dengan lembut berkata, “Habiskan semuanya. Hari ini kau akan puasa, jadi tubuhmu harus terhidrasi dengan baik.”
Aisyah merasa bingung dan sedikit terkejut. "Bu, satu botol saja cukup. Aku tidak bisa minum sebanyak itu," protesnya.
Namun, ibu hanya tersenyum dan menjawab dengan tenang, "Turuti saja apa kata ibu. Ibu tahu yang terbaik untukmu."
Aisyah menundukkan kepalanya, merasa tak berdaya. Dengan perasaan pasrah, ia mulai membuka satu botol dan meminumnya perlahan. Sementara itu, ibunya duduk di depannya, memperhatikannya dengan penuh perhatian, memastikan Aisyah menuruti semua instruksinya. Di balik keheningan dini hari itu, ada pelajaran yang sedang dipaksakan kepada Aisyah—pelajaran tentang kepatuhan, tentang pengorbanan, dan tentang kehidupan yang semakin hari semakin asing baginya.
Malam ini, meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan keringat membasahi tubuhnya, Aisyah mulai mengerti satu hal: ibunya takkan pernah mundur. Apa yang ia lakukan sekarang adalah bentuk cinta yang berbeda, cinta yang keras namun tak bisa disangkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrol Ketat Ibu Terhadap Aisyah
EspiritualCerita ini mengisahkan Aisyah, seorang remaja perempuan yang hidup di bawah kontrol ketat ibunya yang sangat religius dan disiplin. Sejak kehilangan suaminya, sang ibu bertekad untuk mendalami agama dengan sepenuh hati dan menerapkan aturan ketat da...