Episode 2: Malam di Bawah Selimut

38 0 0
                                    

Malam semakin larut, dan kegelapan di luar jendela kamar Aisyah semakin pekat. Suara angin berdesir pelan di luar rumah, membuat suasana semakin hening dan mencekam. Aisyah berbaring di atas kasur, tubuhnya dibalut dalam pakaian yang terasa begitu asing baginya. Kerudung, niqab, masker medis, dan jaket tebal yang menempel erat di kulitnya, membuatnya merasa terperangkap dalam panas yang menyiksa. Keringat mulai mengalir di pelipisnya, membasahi kulit wajah yang tak bisa bernapas dengan bebas.

Aisyah menatap langit-langit kamar, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan. Dalam hening, ia memberanikan diri untuk memanggil ibunya yang sedang berada di luar kamar.

“Bu...,” suaranya lirih, hampir berbisik.

Tak lama kemudian, ibu muncul di ambang pintu, siluetnya terlihat kokoh meskipun dalam cahaya redup. Wajahnya tetap tenang, tanpa emosi yang terlihat jelas, tapi mata Aisyah menangkap keteguhan yang tak tergoyahkan dalam tatapan ibunya.

“Ada apa, Aisyah?” tanya ibu dengan suara lembut tapi tegas, seperti selalu.

Aisyah menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya memohon dengan penuh harap, “Bu, bolehkah aku melepas kerudungku? Setidaknya sebelum tidur?”

Ibu menghela napas panjang, seolah telah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini sejak lama. Ia berjalan mendekat, duduk di pinggir kasur Aisyah, dan mengusap lembut kepala anaknya yang tertutup kerudung.

“Sayangku,” ucap ibu lembut, “kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput. Apa yang akan kita lakukan jika kita dipanggil saat kita dalam keadaan tak menutup aurat?”

Aisyah terdiam, tapi hatinya tetap gelisah. Keringat yang mengalir dari tubuhnya semakin membuatnya resah. Dengan suara sedikit gemetar, ia kembali memohon, “Tapi, Bu... setidaknya lepaskan niqab dan masker ini. Aku sesak, aku tidak bisa bernapas dengan bebas. Ini terlalu panas, Bu...”

Namun, ibu sekali lagi menggeleng perlahan. “Tidak, Aisyah. Ini adalah bagian dari pelindungmu, sama seperti pakaian ini. Panas dan sesak yang kau rasakan adalah pengingat. Ingatlah, sayangku, lebih baik terbiasa dengan panasnya dunia ini daripada merasakan panasnya api neraka yang jauh lebih menyakitkan.”

Kata-kata itu menusuk hati Aisyah. Ia tahu ibunya mencintainya, tapi cinta itu terasa begitu keras malam ini. Setiap kata yang diucapkan ibunya bagai tembok tebal yang tak bisa ditembus oleh protes atau permohonan.

Dengan gerakan lembut namun penuh kuasa, ibu menarik selimut tebal dan membungkus tubuh Aisyah dengan hati-hati. Setiap inci tubuh Aisyah kini tersembunyi di balik lapisan pakaian dan selimut yang semakin membuatnya merasa terkurung.

“Tidurlah, sayang,” ucap ibu, “kau akan terbiasa dengan panas ini. Lebih baik kau merasakan sedikit panas di dunia ini daripada harus menanggung siksa api neraka.”

Aisyah hanya bisa mengangguk lemah, tak lagi punya kekuatan untuk melawan. Setelah memastikan selimut menutupi seluruh tubuh anaknya, ibu mematikan lampu dan melangkah keluar kamar. Suara kunci yang diputar dari luar terdengar samar, menandakan bahwa pintu kamar Aisyah telah terkunci.

Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, seolah menghitung setiap detik yang berlalu dengan lambat. Aisyah menutup mata, mencoba memaksa dirinya untuk tidur, meskipun udara yang ia hirup terasa semakin berat dan panas yang mencekiknya. Di bawah lapisan selimut tebal itu, Aisyah tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang.

Dengan hati yang masih dipenuhi pertanyaan dan ketidakpastian, Aisyah mencoba menyerahkan dirinya pada tidur. Namun, dalam hatinya, ia masih merasakan pertempuran batin yang tak kunjung usai—antara kepatuhan kepada ibunya dan kebebasan yang selalu ia rindukan.

Kontrol Ketat Ibu Terhadap AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang