Setelah kekacauan di Festival Sastra, Bram merasa lega bisa pulang ke rumah dan menghindari masalah lebih lanjut. Namun, beberapa hari setelah itu, beban kerja Bram semakin menumpuk. Ia harus memenuhi tenggat waktu naskah baru dan memastikan plot twist cerita terbarunya tetap terjaga dengan baik. Di sisi lain, Sari tidak henti-hentinya mengeluh tentang betapa "Arga" harus bekerja lebih keras.
Sari masih tidak tahu bahwa Bram adalah Arga. Yang Sari tahu hanyalah bahwa Arga, penulis favoritnya, kembali menghilang dari dunia maya. Kabar hiatus ini langsung membuatnya kesal, dan ia pun membuang rasa frustasinya ke media sosial.
"Hiatus lagi! Kenapa Arga selalu menghilang di saat-saat yang penting? Kami sudah menunggu berbulan-bulan!" keluh Sari kepada grup penggemar Arga di aplikasi pesan. Banyak teman-temannya di grup setuju dan menambahkan keluhan serupa. Sari, sebagai penggemar setia, memutuskan untuk mengambil langkah lebih lanjut.
"Baiklah, kalau begini caranya, kita harus melakukan sesuatu," kata Sari dengan semangat berkobar. Ia memutuskan untuk membuat petisi online yang meminta Arga untuk berhenti menghilang tanpa alasan dan meminta jadwal yang lebih jelas tentang kapan bab berikutnya akan dirilis.
Bram mendengar gemuruh suara Sari dari ruang tamu sambil mengetik di laptopnya. Dia mengangkat alis, mencoba menahan tawa. "Sari ini benar-benar bersemangat sekali," pikirnya sambil mencuri pandang. Ia berpura-pura tidak tahu dan bertanya, "Kamu lagi apa sih, Sar? Kok ribut banget?"
Sari mengerutkan dahi dan menjawab dengan nada tajam, "Aku bikin petisi buat Arga. Kamu tahu kan, betapa frustrasinya menunggu karya favorit kita tapi nggak ada kabar?"
Bram berpura-pura ikut prihatin, "Oh, ya? Memangnya dia hiatus lagi?"
"Hiatus lagi, Bram! Dia selalu begitu! Para penggemar sudah menunggu terlalu lama. Kita butuh tindakan nyata!" jawab Sari, suaranya semakin bersemangat.
Bram menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Rasanya ironis sekali; ia sedang menulis naskah terbaru di komputer sambil mendengarkan istrinya membuat petisi agar dirinya—atau identitas rahasianya, Arga—lebih cepat menulis.
Setelah beberapa hari, petisi yang dibuat oleh Sari semakin viral di kalangan penggemar Arga. Banyak yang menandatangani dan menambahkan komentar betapa mereka juga kesal dengan kebiasaan Arga menghilang tanpa alasan. Sari, yang merasa mendapat dukungan, semakin gigih memperjuangkan hal ini.
"Ini luar biasa! Lihat, Bram, sudah ada seribu orang yang menandatangani petisiku!" Sari berkata dengan mata berbinar-binar, menunjukkan layar laptopnya kepada Bram.
Bram tersenyum kecut, "Wah, hebat juga kamu, Sar."
Sari mendekat ke wajah Bram dengan mata yang penuh tekad. "Kita harus menuntut Arga untuk memberikan update secara reguler. Kalau dia benar-benar peduli pada penggemarnya, dia nggak akan terus-menerus menghilang."
Bram merasa sedikit tersudut. Ia ingin mengatakan bahwa menulis itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan begitu saja sesuai keinginan orang lain. Tapi, di sisi lain, ia juga tidak bisa mengungkapkan kebenarannya. Ia hanya mengangguk, "Kamu benar juga. Mungkin dia perlu tahu kalau penggemarnya ingin lebih banyak keterbukaan."
Beberapa hari setelah petisi itu makin menyebar, Bram mulai merasa tertekan dengan semua ini. Dia ingin sekali mengatakan pada Sari agar berhenti. Namun, ia tahu bahwa melakukan hal itu bisa membuat Sari semakin curiga. Selain itu, identitasnya sebagai Arga juga harus tetap dirahasiakan. Untuk menghindari situasi yang semakin rumit, Bram memutuskan untuk memainkan permainan yang berbeda.
Pada suatu malam, Bram membuat sebuah postingan anonim di forum penggemar Arga. Dia berpura-pura sebagai seseorang yang sangat dekat dengan Arga dan mengatakan bahwa Arga sedang dalam kondisi yang sulit, baik secara emosional maupun fisik, sehingga tidak bisa menulis dengan produktif.
Postingan tersebut berbunyi: "Arga sangat mencintai penggemarnya, tapi dia juga manusia. Dia mengalami tekanan besar untuk menulis terus-menerus. Kita harus memberinya ruang dan waktu untuk menyegarkan diri."
Sari membaca postingan tersebut dengan raut wajah yang sedikit dilembutkan. "Mungkin kita terlalu keras padanya," katanya kepada teman-teman di grup. "Tapi di sisi lain, dia juga harus lebih transparan. Kalau ada masalah, harusnya dia bilang."
Bram, yang mendengarkan dari kamar sebelah, merasa sedikit lega karena postingannya berhasil menurunkan sedikit emosi para penggemar. Namun, masalahnya belum selesai. Sari masih bertekad untuk memastikan Arga tidak akan menghilang begitu saja di masa depan.
Tidak lama kemudian, datang sebuah ide yang mungkin lebih gila. Sari memutuskan untuk menulis surat marah secara pribadi kepada Arga. "Kalau dia nggak mau dengar suara penggemarnya, mungkin dia akan dengar suara dari satu penggemar yang paling vokal," kata Sari sambil mengangkat kening dengan gaya dramatis.
Bram, yang mendengar rencana itu, hampir tersedak kopinya. "Surat marah? Apakah Sari akan benar-benar mengirimkannya?" pikir Bram, merasa sedikit khawatir. Jika Sari benar-benar mengirim surat itu, dia harus berpikir keras bagaimana cara meresponsnya tanpa menimbulkan kecurigaan lebih lanjut.
Pada malam harinya, ketika Sari tidur, Bram mengintip ke layar laptopnya dan menemukan draf surat yang sedang ditulis Sari. Surat itu penuh dengan kekecewaan dan saran yang cukup tajam tentang bagaimana Arga seharusnya berinteraksi dengan para penggemarnya.
"Dear Arga," demikian bunyi surat itu, "Kami mengerti bahwa menulis bukan hal yang mudah, tapi kamu harusnya juga mengerti bahwa kami, para penggemar, sangat berinvestasi dalam karyamu. Kami mengharapkan sedikit lebih banyak komunikasi. Setidaknya beri tahu kami jika ada masalah, bukannya tiba-tiba menghilang begitu saja."
Bram menelan ludah. Surat itu sangat penuh dengan rasa kecewa dan tuntutan yang sebenarnya cukup masuk akal. Namun, ia juga tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Ia harus menemukan cara untuk menjawab surat tersebut dengan bijaksana. Ia pun memutuskan untuk menulis surat balasan palsu yang mengatasnamakan Arga.
Dengan hati-hati, Bram mengetik, "Dear penggemar setiaku, aku sangat menghargai semua perhatian dan dukungan kalian. Percayalah, tidak ada yang lebih berarti bagiku selain mengetahui betapa besar cinta yang kalian berikan. Namun, aku juga manusia biasa, yang terkadang butuh waktu untuk beristirahat dan merenung. Semoga kalian semua bisa mengerti dan tetap mendukungku."
Setelah itu, Bram menyiapkan email anonim untuk mengirim surat balasan itu kepada Sari. Keesokan harinya, ketika Sari menerima surat tersebut, dia tampak sedikit lebih tenang. "Yah, setidaknya dia mendengar kita," katanya, sambil menunjukkan email balasan itu kepada Bram.
Bram hanya tersenyum kecil, merasa berhasil untuk sementara waktu. Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa permainan ini tidak bisa terus berjalan. Suatu hari, semua ini mungkin akan terungkap, dan ia harus siap menghadapi konsekuensinya.
Dan untuk saat ini, Bram hanya bisa berharap bahwa hari itu belum datang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Penulis di Balik Pintu Kamar
RomanceBram adalah seorang penulis terkenal yang dikenal dengan nama pena "Arga." Karyanya selalu ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya, termasuk istrinya sendiri, Sari, yang tidak tahu bahwa suaminya adalah penulis yang dia idolakan. Setiap kali Bram men...