Setelah acara buku yang cukup menguras energi, Bram merasa lega bisa kembali ke rumah dan melepas penyamaran yang sudah membuatnya berkeringat. Dia duduk di sofa dan menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang masih menggantung di udara. Sari, di sisi lain, tampak sangat bersemangat. Dia langsung menuju laptopnya begitu mereka tiba di rumah.
"Aku harus segera menulis di forum penggemar tentang acara tadi," seru Sari, dengan semangat yang tak bisa dibendung. "Aku yakin para penggemar lain juga ingin tahu apa yang terjadi!"
Bram mengangguk, sedikit khawatir. Sari adalah salah satu penggemar paling vokal di forum tersebut, sering mengeluarkan pendapatnya tentang perkembangan cerita dan karakter Arga. Bram sudah cukup sering membaca postingan-postingan kritis Sari yang tajam namun lucu di forum itu, yang sering kali membuatnya tersenyum atau bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Jadi, apa yang akan kamu tulis kali ini?" tanya Bram dengan nada santai, sambil mengawasi reaksi Sari dari sudut matanya.
"Oh, aku tidak tahu," jawab Sari sambil mulai mengetik. "Mungkin aku akan menulis tentang kekecewaanku karena Arga tidak muncul. Tapi aku juga ingin membahas spekulasi tentang buku baru yang dia sebutkan dalam suratnya tadi."
Bram tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mendengar masukan langsung dari pembacanya—dari istrinya sendiri, yang tanpa sadar menjadi sumber inspirasi terbesar baginya. Ia merasa sedikit gugup tetapi juga penasaran.
Beberapa menit kemudian, Sari mulai menggumamkan kalimat-kalimat yang ia ketikkan. "Sebenarnya, aku sangat kecewa karena Arga tidak datang. Aku sudah berharap banyak untuk bertemu dengannya secara langsung. Tetapi, setidaknya, ada harapan buku baru akan segera rilis. Kalau dilihat dari suratnya tadi, mungkin akan ada sesuatu yang lebih mendalam tentang karakter utamanya. Aku hanya berharap kali ini Arga tidak membuat keputusan-keputusan aneh seperti di buku sebelumnya."
Bram tersenyum kecil. "Keputusan aneh, ya?" gumamnya pelan. Ia merasa geli mendengar pandangan kritis Sari, yang sering kali menyentuh langsung inti cerita.
Sari tiba-tiba berhenti mengetik dan menatap Bram. "Iya, maksudku, di buku sebelumnya, ada bagian di mana karakter utama tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkan semuanya dan pergi ke hutan selama berbulan-bulan tanpa alasan yang jelas. Itu agak terlalu dipaksakan, menurutku. Padahal, bisa saja dia mengambil jalan cerita yang lebih logis."
Bram tertawa. "Kamu benar-benar mendalami ceritanya, ya?"
"Ya tentu saja! Aku kan penggemar setia Arga!" Sari menegaskan. "Dan aku tidak takut mengkritiknya kalau menurutku ada yang kurang pas."
Bram mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Mungkin dia punya alasan khusus untuk itu," ujarnya, mencoba membela keputusan cerita yang sebenarnya adalah pilihannya sendiri.
"Aku harap begitu," balas Sari sambil melanjutkan mengetik. "Aku akan tetap membaca bukunya, tapi aku tidak akan segan-segan mengkritik kalau ada yang menurutku aneh."
Bram mengangguk setuju. Dia tahu bahwa kritikan Sari selalu datang dari tempat yang tulus—dan hal ini mendorongnya untuk lebih baik lagi dalam menulis. Di dalam dirinya, dia merasa sedikit bersyukur karena memiliki seorang istri yang secara tidak langsung membantu memperbaiki karyanya.
Malam itu, Sari tetap duduk di depan laptop hingga larut malam, sibuk berdiskusi di forum penggemar. Dia menerima banyak tanggapan dari anggota lain yang setuju dengan pendapatnya tentang keputusan cerita yang tidak logis, dan beberapa yang bahkan mengajukan teori-teori baru tentang buku berikutnya. Diskusi tersebut semakin memanas, dan Bram, yang duduk di sofa sambil membaca, sesekali mengintip layar Sari dengan penasaran.
"Pasti seru sekali berdiskusi dengan mereka," komentar Bram.
"Tentu saja! Kamu tahu, para penggemar Arga ini sangat bersemangat, dan mereka punya banyak teori yang menarik," jawab Sari sambil terus mengetik. "Mungkin saja salah satu dari mereka benar-benar mengetahui arah cerita berikutnya."
Bram tertawa kecil. "Atau mungkin juga mereka sama sekali tidak tahu apa-apa."
Setelah beberapa jam, Sari menutup laptopnya dan meregangkan badannya. "Aku senang bisa berbagi pendapat dengan orang lain," katanya. "Tapi, aku tetap berharap suatu hari nanti bisa bertemu langsung dengan Arga dan memberinya beberapa saran."
Bram tersenyum, sedikit canggung. "Mungkin suatu hari nanti, kamu akan mendapatkan kesempatan itu."
Hari berikutnya, Sari memutuskan untuk membaca ulang beberapa bab terbaru dari buku Arga yang paling baru. Dia ingin memastikan bahwa kritik yang dia tulis di forum benar-benar mendalam dan memiliki dasar. Bram, yang sedang menulis di ruang kerjanya, sesekali mengintip dari balik pintu. Dia memperhatikan bagaimana Sari sangat fokus, dengan alis berkerut setiap kali menemukan bagian yang menurutnya kurang memuaskan.
"Sar, kamu benar-benar serius ya dengan kritikmu itu?" tanya Bram dengan sedikit hati-hati.
"Ya, tentu saja. Aku ingin memastikan bahwa aku memberikan kritik yang konstruktif," jawab Sari tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku. "Aku hanya berharap Arga benar-benar membaca komentar para penggemarnya dan mempertimbangkannya untuk buku berikutnya."
Bram hanya bisa tertawa kecil dalam hati. "Jangan khawatir, aku yakin dia membacanya," gumamnya pelan. Tidak ada yang lebih 'membaca' dari seorang penulis yang sebenarnya adalah dirinya sendiri.
Malam itu, ketika Sari tertidur, Bram duduk di depan komputernya dan membuka forum penggemar dengan akun samaran yang sudah ia buat. Dia dengan hati-hati membaca postingan dan komentar-komentar yang ditulis penggemarnya, terutama yang dari Sari. Bram mengambil catatan di sebelahnya dan mulai menuliskan poin-poin penting yang bisa ia gunakan sebagai bahan perbaikan untuk cerita berikutnya.
Satu komentar dari Sari menarik perhatiannya: "Arga harus lebih berani mengambil risiko dengan karakter-karakter pendukung. Ada banyak potensi yang belum digali, dan aku harap dia bisa mengeksplor lebih jauh."
Bram mengangguk setuju. Itu ide yang bagus, dan ia sadar bahwa ini adalah kesempatan untuk mengembangkan lebih banyak karakter yang selama ini hanya menjadi latar belakang. "Baiklah, Sari," gumamnya pelan. "Aku akan mempertimbangkan saranmu. Sepertinya itu akan menjadi arah yang menarik."
Keesokan harinya, Sari bangun dengan penuh semangat. "Bram, aku bermimpi tentang Arga tadi malam!" katanya. "Dalam mimpiku, dia membaca semua kritik kita di forum dan berterima kasih kepada semua penggemar atas masukan mereka."
Bram hanya bisa tersenyum kecil. "Mungkin itu pertanda baik," katanya. "Siapa tahu, mungkin Arga memang membaca kritik-kritik itu."
Sari mengangguk setuju. "Aku harap begitu. Karena, sebagai penggemar, kita hanya ingin dia terus menulis dengan lebih baik lagi."
Bram mengangguk, merasa hangat mendengar semangat istrinya. Dia tahu, di balik setiap kata yang ditulisnya sebagai Arga, ada seorang penggemar setia yang terus memacu dirinya untuk menjadi lebih baik. Dan penggemar itu adalah Sari, istrinya yang tercinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penulis di Balik Pintu Kamar
RomanceBram adalah seorang penulis terkenal yang dikenal dengan nama pena "Arga." Karyanya selalu ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya, termasuk istrinya sendiri, Sari, yang tidak tahu bahwa suaminya adalah penulis yang dia idolakan. Setiap kali Bram men...