Bab 9: Usaha Sari Menulis Buku Sendiri

22 9 0
                                    

Sejak pengumuman hiatus oleh penulis favoritnya, Arga, Sari sering terlihat murung dan kesal. Bram tahu betul mengapa istrinya begitu frustrasi—itu karena dirinya sendiri. Di balik identitas Arga, Bram merasa perlu istirahat sejenak dari menulis untuk menenangkan pikirannya. Tapi Sari, seperti penggemar-penggemar lainnya, tidak bisa menerima alasan itu.

"Aku akan menulis buku sendiri," gumam Sari suatu malam ketika mereka sedang makan malam. Bram yang sedang menyuap nasi hampir tersedak mendengar pengumuman itu.

"Kamu serius?" tanyanya setelah menelan makanannya dengan hati-hati.

"Tentu saja serius! Daripada menunggu bab baru dari Arga yang entah kapan akan keluar, lebih baik aku menulis cerita yang aku suka," balas Sari, matanya bersinar dengan semangat yang baru. "Lagipula, kalau dia bisa, kenapa aku tidak?"

Bram terdiam. Di satu sisi, dia merasa geli melihat semangat Sari yang meletup-letup. Di sisi lain, ia khawatir bagaimana jika Sari tanpa sengaja menulis cerita yang terlalu mirip dengan novelnya—cerita yang diambil dari momen-momen hidup mereka sendiri. Tetapi, ia tidak mungkin mengungkapkan kekhawatirannya tanpa membocorkan rahasianya sebagai Arga. Jadi, dia hanya mengangguk.

"Ya, aku pikir itu ide bagus," jawab Bram dengan senyum tipis.

Selama beberapa hari berikutnya, Sari benar-benar terjun ke dalam proyek penulisannya. Setiap pagi, setelah Bram pergi ke kantor dan sebelum bekerja sebagai editor lepas, Sari akan duduk di depan laptopnya dan mulai menulis. Bram mengamati perkembangan ini dengan hati-hati, sering kali melirik layar laptop istrinya ketika dia pikir Sari tidak memperhatikan.

"Bagaimana ceritanya sejauh ini?" tanya Bram pada suatu malam, mencoba terdengar santai.

Sari mengerutkan dahi, terlihat berpikir keras. "Aku sudah menulis tiga bab, tapi aku merasa ada yang kurang. Mungkin kamu bisa membacanya dan memberi saran?"

Bram terkejut. Ia tak menyangka Sari akan memintanya membaca draf itu. Dia tahu bahwa ini bisa menjadi situasi yang sangat berbahaya. Bagaimana jika dia memberi saran yang terlalu bagus? Sari mungkin akan menyadari bahwa komentarnya terdengar seperti milik Arga. Tapi di sisi lain, dia tak bisa menolak permintaan istrinya. Akhirnya, dengan senyum sedikit gugup, dia mengangguk.

"Boleh, biar aku lihat," kata Bram, mengambil laptop yang disodorkan Sari.

Bram membaca tiga bab pertama dengan cermat. Ceritanya tentang seorang wanita yang berusaha menemukan jati diri melalui tulisan dan perjalanan hidup. Alurnya cukup menarik, dan Sari menggunakan bahasa yang sederhana namun kuat. Bram melihat banyak potensi di sana, tapi dia juga menemukan beberapa kelemahan yang bisa diperbaiki.

"Menurutku, karakter utama ini perlu sedikit lebih berkembang," kata Bram, mencoba memberikan masukan tanpa terlalu banyak mengungkapkan pandangannya sebagai seorang penulis profesional. "Coba beri dia lebih banyak konflik internal, mungkin. Itu bisa membuat pembaca lebih terhubung dengan emosinya."

Sari mendengarkan dengan seksama, mengangguk-anggukkan kepala. "Itu ide yang bagus. Aku akan coba."

Hari-hari berikutnya, Sari semakin tenggelam dalam dunia penulisannya. Dia sering terlihat bergumam sendiri, menggerutu ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, atau terkikik saat menemukan ide yang menurutnya cemerlang. Bram diam-diam menikmati pemandangan itu. Ada kesenangan tersendiri melihat Sari bersemangat mengejar sesuatu yang baru. Tapi ada kalanya, ia merasa sedikit terganggu.

Di suatu malam, Bram terbangun karena suara tuts keyboard yang ditekan berulang-ulang. Ia melihat ke samping dan menemukan Sari masih menulis di meja kerja kecil mereka, dikelilingi oleh tumpukan kertas coretan.

"Sayang, sudah malam. Istirahatlah dulu," ujar Bram dengan suara serak.

"Sebentar lagi," jawab Sari dengan mata yang masih terpaku pada layar. "Aku hampir menyelesaikan bab ini."

Bram menghela napas dan kembali tidur, tapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia mulai menyadari bahwa kegilaan Sari terhadap proyek penulisannya ini sudah melampaui batas. Namun, ia juga tak ingin merusak semangatnya.

Suatu hari, Sari mengumumkan sesuatu yang mengejutkan lagi.

"Aku ingin ikut kompetisi menulis bulan depan," katanya. "Aku pikir ini bisa menjadi cara yang bagus untuk menguji kemampuan menulisku."

"Kompetisi menulis?" Bram mengangkat alis. Ia mulai merasa cemas. Jika Sari ikut kompetisi dan juri kebetulan mengenali gaya tulisannya yang mirip dengan Arga, semuanya bisa terungkap. Tapi dia harus tetap tenang. "Itu ide bagus. Tapi kompetisi biasanya punya aturan ketat. Kamu yakin siap?"

"Siap atau tidak, aku harus mencoba. Aku tidak akan tahu kalau tidak mencobanya, kan?" Sari tersenyum lebar. Bram tak bisa membantah.

Hari demi hari berlalu, dan Bram tak bisa menahan rasa cemasnya semakin membesar. Saat makan malam, Sari seringkali mendiskusikan alur cerita, perkembangan karakter, atau bagaimana dia berusaha menulis twist yang mengejutkan. Bram berusaha untuk tetap netral, memberikan masukan yang tidak terlalu berlebihan, tetapi cukup untuk membuat Sari merasa didukung.

"Bagaimana kalau karakter utamamu mengalami kehilangan besar di akhir cerita?" usul Bram suatu hari. "Itu bisa menjadi twist yang kuat."

Sari mengangguk antusias. "Itu ide bagus! Aku akan coba menulisnya."

Namun, suatu hari, saat Bram pulang dari kantor, dia mendapati Sari duduk di sofa dengan wajah masam. Dia tidak menulis. Laptopnya tertutup dan tergeletak di atas meja kopi.

"Ada apa, Sayang?" tanya Bram, sedikit was-was.

"Aku menemui jalan buntu," keluh Sari. "Semua ideku terasa klise. Aku tidak tahu bagaimana membuat cerita ini unik."

Bram merasakan simpati yang tulus. Ia tahu betapa sulitnya menghadapi kebuntuan kreatif. Akhirnya, setelah berpikir sejenak, dia mengambil keputusan yang mungkin berisiko.

"Kau tahu," katanya sambil duduk di samping Sari, "menulis itu soal menemukan suara unikmu sendiri. Jangan takut untuk menggali lebih dalam. Apa yang ingin kamu sampaikan melalui ceritamu?"

Sari terdiam, merenung. "Aku ingin menunjukkan bahwa kita semua punya cara berbeda untuk menemukan kebahagiaan. Bahwa kadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk benar-benar menghargai apa yang kita miliki."

Bram tersenyum. "Itu sudah terdengar unik. Kamu hanya perlu mempercayai instingmu."

Sari tersenyum kembali. "Kamu benar. Aku akan mencobanya lagi besok. Terima kasih, Sayang."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Bram merasa tenang. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, Sari akan menemukan jalannya sendiri. Dan meskipun identitasnya sebagai Arga mungkin suatu saat akan terbongkar, setidaknya dia bisa bangga bahwa dia telah mendukung istrinya dalam menemukan suaranya sendiri.

Penulis di Balik Pintu KamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang