Di sebuah rumah kecil yang terletak di pinggiran kota yang tenang, Bram dan Sari menjalani kehidupan mereka dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Rumah mereka, meskipun tidak terlalu besar, adalah tempat di mana kebahagiaan dan tantangan kehidupan sehari-hari saling berbaur. Bram, seorang penulis novel terkenal dengan nama pena Arga, adalah sosok yang dikenal di kalangan penggemar sastra, sementara Sari adalah penggemar berat karyanya. Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan meskipun mereka tampaknya bahagia, ada rahasia kecil yang disimpan Bram yang mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.
Di pagi hari yang cerah, Sari bangun dengan penuh semangat dan kegembiraan. Hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya, karena dia memiliki rencana besar: meluncurkan petisi online untuk meminta Arga, penulis favoritnya, agar lebih cepat merilis novel terbarunya. Dengan penuh semangat, Sari duduk di meja makan yang sudah dipenuhi dengan berbagai peralatan kantor dan laptopnya. Dia memulai hari dengan memeriksa email dan akun media sosialnya, sambil bersiap untuk langkah-langkah berikutnya dalam misinya.
Bram, yang baru saja menyelesaikan sarapan, berjalan ke meja makan dengan wajah ceria dan pakaian santai, siap untuk memulai hari. "Pagi, Sayang. Ada rencana khusus hari ini?" tanyanya sambil menyajikan secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
Sari, yang tampaknya sangat bersemangat, menatap Bram dengan penuh semangat. "Oh, Bram! Aku hampir lupa. Aku baru saja membuat petisi untuk Arga. Banyak penggemar yang sudah menunggu buku berikutnya, dan aku ingin Arga tahu seberapa pentingnya novel ini bagi kami!"
Bram berusaha menahan senyum, berdoa dalam hati agar tidak tertawa. "Petisi? Wah, itu keren sekali. Aku yakin Arga akan menghargainya."
Sari melanjutkan dengan semangat yang semakin membara. "Aku bahkan menulis surat terbuka untuknya! Kupikir, jika cukup banyak orang menandatangani, mungkin Arga akan merasa terdorong untuk menulis lebih cepat. Aku sudah menghubungi beberapa teman dan anggota forum penggemar Arga untuk mendukung petisi ini."
Bram menatap Sari dengan tatapan penuh perhatian, berusaha sekuat tenaga untuk tidak memberi petunjuk bahwa dia adalah Arga. "Aku rasa itu ide yang bagus. Semoga saja Arga mendengar suara para penggemarnya."
Sari mulai mengedit petisinya sambil tersenyum lebar, tidak menyadari bahwa Bram sedang duduk di sebelahnya dengan jantung berdebar-debar. Bram berusaha keras untuk menahan diri agar tidak menanyakan lebih banyak tentang petisi itu, karena setiap pertanyaan yang dia ajukan bisa membuatnya semakin sulit untuk menjaga rahasia.
Saat Sari akhirnya pergi bekerja, Bram segera menuju ruang kerjanya yang terletak di belakang pintu kamar mereka. Ruang kerja itu adalah tempat di mana dia menulis karya-karya terbaiknya. Dengan kertas berserakan dan buku-buku referensi di sekelilingnya, Bram duduk di meja tulis, memfokuskan perhatian pada laptopnya. Dia mulai mengetik dengan semangat, ide-ide baru tentang karakter dan plot mengalir deras dalam pikirannya. Beberapa ide tersebut terinspirasi oleh perbincangan dan semangat istrinya, dan Bram merasa terinspirasi untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar istimewa.
Namun, di tengah-tengah proses penulisan, Bram terpaksa menghadapi masalah tak terduga: printer yang sering macet. Setiap kali Bram mencoba mencetak naskahnya, printer tersebut mengeluarkan suara berderit dan kertas keluar dengan pola yang aneh. "Oh, ini sangat menyebalkan," gerutunya, berusaha keras untuk tidak melemparkan printer itu keluar jendela. Setelah beberapa kali mencoba dan hampir mengalami kegagalan total, akhirnya Bram berhasil mencetak beberapa halaman—tentu saja, dengan hasil yang sedikit melenceng.
Ketika malam tiba, dan Sari pulang dengan wajah penuh kemenangan, Bram merasa lega sekaligus cemas. "Petisi kita sudah mendapatkan banyak dukungan! Aku juga membuat sebuah forum online untuk mendiskusikan karya Arga. Ternyata, ada banyak sekali orang yang memiliki pendapat sama tentang betapa luar biasanya tulisan Arga."
Bram, yang sudah menyiapkan makan malam dengan penuh perhatian—termasuk hidangan yang tampaknya bisa dimasak dengan lebih baik oleh microwave—hanya tersenyum dan menyajikan hidangan dengan hati-hati. "Aku senang mendengarnya. Aku yakin Arga sangat menghargai dukungan seperti ini."
Sari duduk di meja makan, sambil menyantap makan malam dan membicarakan rincian petisi serta reaksi penggemar dengan penuh semangat. Bram mendengarkan dengan seksama, berusaha keras untuk menahan tawa setiap kali Sari menceritakan betapa sulitnya mendapatkan dukungan dari teman-temannya. "Jadi, ada salah satu teman yang sebenarnya ingin mendukung Arga tapi bingung dengan cara mengirimkan tanda tangannya. Dia malah mengirimkan gambar kucingnya dengan tulisan 'Tanda Tangan Kucing'!"
Bram tertawa kecil dan mencoba untuk tidak terlihat terhibur terlalu banyak. "Itu pasti lucu sekali. Aku yakin Arga akan sangat menghargai segala bentuk dukungan, bahkan dari kucing sekalipun."
Sari tersenyum lebar, tidak menyadari bahwa suaminya, yang kini sedang duduk di sampingnya, adalah penulis terkenal yang dia cintai. Bram memandang istrinya dengan penuh rasa sayang, merasakan tekanan dan tanggung jawab dari rahasia yang dia simpan. Saat dia menatap langit-langit kamar, Bram berdoa agar suatu hari nanti, ketika saatnya tiba untuk mengungkapkan kebenaran, semuanya akan berjalan dengan lancar—dan semoga dengan lebih sedikit drama printer di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penulis di Balik Pintu Kamar
RomanceBram adalah seorang penulis terkenal yang dikenal dengan nama pena "Arga." Karyanya selalu ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya, termasuk istrinya sendiri, Sari, yang tidak tahu bahwa suaminya adalah penulis yang dia idolakan. Setiap kali Bram men...