27 | After; Tentang tiga tahun lalu

154 22 0
                                    

Di antara dua puluh empat jam waktu berputar di dunia, kenapa harus jam lima pagi?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di antara dua puluh empat jam waktu berputar di dunia, kenapa harus jam lima pagi?

Pertanyaan itu, terus berputar-putar dalam kepala Aslan sejak tadi. Kini keduanya berada di supermarket Ibukota. Supermarket terbesar, termegah, dan terlengkap, yang di mana perusahaan retail itu beroperasional dari pagi sampai malam---dari malam sampai pagi---selama dua puluh empat jam.

Tidak ada hari libur.

Tidak ada jeda sama sekali.

Tidak ada kata henti.

Pusat perbelanjaan itu memiliki slogan 'akan selalu ada serta setia menunggu dengan senang hati untuk para pelanggan yang kami cintai'.

Uhhh ... romantis sekali.

Padahal terlihat jelas sekali, semua karyawan yang tengah bertugas pagi dini hari ini tengah menahan kantuk setengah mati. Selain membanting tulang, terkadang manusia juga harus membanting harga diri. Demi pundi-pundi uang yang setiap akhir bulan mereka nanti-nanti.

Hmm ... ternyata dunia memang kejam, ya?

Selain mencaci maki dunia dalam hati, Aslan juga tak ada habisnya mencetuskan umpatan pada sang istri. 

Dua alis Aslan menukik tajam, menimbulkan kerutan mendalam pada keningnya. Hidung mancungnya menyingsing sebal, membuat dia tak berhenti untuk terus mendengkus kesal tatkala menatap punggung Asyla yang kini tengah sibuk memilih perbumbuan pada rak makanan yang ada di hadapan mereka.

"Bisa cepetan nggak sih, La, belanjanya?" Seraya bertanya, Aslan memasukkan dua tangan ke dalam saku jaket berbahan parasut yang membungkus badan. Sesekali dia membasahi bibir karena terasa mulai mengering akibat paparan dari pendingin ruangan.

"Sabar, ish!"

"Dari tadi sabar terus, tapi belanjanya nggak selesai-selesai."

Mata Asyla memutar malas. "Sabar, Aslan..." sahutnya selembut mungkin. Dia membalikkan badan, meletakkan lima kotak bumbu dapur berukuran sedang pada trolly yang sudah hampir penuh oleh beberapa bahan makanan mentah yang sudah dia pilih sebagai persedian di rumah untuk satu bulan ke depan. "Kamu kedinginan?"

"Menurut kamu?" Mata Aslan memicing sinis. "Lagian ngapain sih, belanja bulanan pagi-pagi buta kayak gini? Kayak nggak ada hari lain aja."

"Emang si Pagi punya mata ya, jadi kamu tau dia buta?" tanya Asyla pura-pura sok polos.

"Garing tau nggak." Aslan berdecih lirih, tetapi dia yakin Asyla mendengarnya. "Lagi nggak mood becanda." Napasnya terbuang kasar, melihat sang istri memamerkan seringai usil. "Nggak usah ngomong. Kalau kamu mau ngomong, sana, ngomong sama tembok."

"Ngapain ngomong sama tembok. Nggak seru. Tembok nggak ada mulutnya, dia nggak bisa nyahut kalau aku lagi ngoceh." Tidak seperti kemarin pagi yang tersinggung atas ucapan ketus Aslan, kali ini Asyla menjawab amarah kesal suaminya itu dengan santai. "Tembok itu punya telinga, bukan mulut."

Before-After [All About Us]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang