28 | After; Masa lalu yang tak berarti lagi

121 20 2
                                    

Hari itu tiba.

Hari yang telah Aslan tunggu-tunggu, namun hari itu juga adalah hari yang sangat tidak Asyla inginkan.

Setibanya di Lombok pukul enam sore, Aslan dan Asyla masih perlu waktu lagi sekitar satu jam tiga puluh menit untuk sampai ke kota Senggigi. Alih-alih menjadikan Lavanya hotel sebagai tempat menginap, Aslan lebih memilih Lavanya resort sebagai tempat mereka beristirahat untuk beberapa hari ke depan.

Lavanya resort adalah salah satu resort milik keluarga Behzad yang terletak di atas bukit. Lavanya resort juga merupakan resort artistik bintang lima dirancang dengan privasi yang sangat tinggi dan memiliki incline lift untuk menuju villa. Menyajikan pemandangan indah laut biru pantai Senggigi dari jarak dekat yang dapat ditangkap langsung oleh sepasang netra.

Setiap satu villa yang ada di Lavanya resort memiliki bangunan cukup luas. Sebagian dinding memiliki kaca lebar menjurus langsung ke teras yang menyatu dengan kolam renang pribadi menghadap pantai Senggigi. Ada sofa di ruang tengah, ada bench di depan tempat tidur, ada kursi kayu di sisi teras depan samping, dan ada juga sofabed di depan kolam renang, serta memiliki kamar mandi yang luas mengusung konsep open air.

Sangat indah dan menakjubkan. 

Jika duduk di kursi teras saat pagi bisa menangkap momen matahari terbit, namun jika sore hari bisa menikmati sunset serta mendengar merdunya deburan ombak-ombak pantai.

Mengingat waktu malam sudah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh menit, tidak ada yang mereka ingin lakukan selain mengisi perut bersama, setelah usai membersihkan diri. 

Menu makan malam sudah tersedia di living room. Seperti biasa meski sudah menjelang malam nampaknya urusan pekerjaan tak bisa jauh-jauh dari Aslan, itu semua terbukti pada iPad yang berada di atas meja---bersebelahan dengan ponsel yang terus berdering entah berasal dari sebuah panggilan atau pesan singkat. Namun, Aslan hanya membiarkan, sama sekali tidak berniat berkutat dengan benda pipih itu sementara dia masih lahap menikmati hidangan.

"Lan." Di sofa dari tempatnya duduk, Asyla menatap ke samping pada sang suami. “Besok … emm…” Dia menggigit bibir sejenak. “Kamu beneran mau ketemu sama Mia?” Kalimat yang selalu berulang kali Asyla tanyakan. 

"Iya, kan aku udah bilang dari lusa kemarin,” sahut Aslan santai. “Pagi-pagi nanti aku ke Gili trawangan dulu, mau ketemu sama salah satu rekan bisnis, bicarain tentang merger perusahaan. Baru ketemu sama Mia. Ada yang diomongin dikit sama dia, nggak lama,” lanjutnya menjelaskan, seraya menyantap sisa satu suapan makanan ke mulut. 

“Lama nggak?”

“Mungkin.” Aslan mengangguk. “Pagi jam 7 kita berangkat, sore kita balik ke sini lagi.”

“Kira-kira kerjaan kamu selesainya lama nggak di sini?”

“Tergantung.” Setelah menyelesaikan santapan, Aslan menyandarkan punggung pada sofa, sambil melipat dua tangan di depan dada. “Kalau semuanya sesuai kesepakatan dan berjalan lancar, sehari juga udah selesai.”

“Kalau udah selesai, ngapain lagi?”

“Ya … kita pulang lah.” Sebelah tangan Aslan terangkat, meraih pundak sang istri ke dalam rangkulan. “Lusa nanti udah memasuki weekend, kan? Pasti kafe kamu rame banget tuh. Nanti aku temenin kamu kerja seharian, sampai lembur juga aku tungguin.”

“Oh…” Napas Asyla langsung terhela panjang. Kepalanya menunduk ke bawah, menatap bagaimana kini jemari-jemari dari kedua tangan saling meremat kuat. “Kamu nggak ada kepikiran sama sekali gitu?” Dia menegakkan kepala, menoleh, memandang sang suami dalam tatap sendu.

Before-After [All About Us]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang