24 | After; Rindu tersembunyi dan harap sia-sia

101 14 0
                                    

Asyla | 04.00
Mas Liam, pagi ini bisa ketemu?

Pesan itu, Asyla kirim dengan kesadaran penuh tanpa ada paksaan dari siapapun. Dalam tiga hari ini dia terus berpikir berulang-ulang dan berujung pada pendirian awal untuk tetap ingin bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Karena Asyla pikir ada sesuatu yang harus dia selesaikan dengan Liam. Dan sekarang adalah waktunya, di mana waktu saat Aslan masih berada di luar kota, jadi Asyla berpikir dia tidak terlalu khawatir tentang pertemuannya bersama Liam nanti.

Lalu, masih menatap ponsel dalam genggaman, jemari Asyla mulai kembali bergerak, menekan tanda hijau di layar pada nama kontak yang ingin dia hubungi.

"Hmmm?" Terdengar dehaman dari seberang telepon. "Kok, tumben udah bangun?" Suara Aslan terdengar bingung.

Senyum di bibir Asyla terbit ketika mendengar suara yang sangat dia rindukan selama tiga hari mereka tidak bertemu. Suara yang terkadang bisa lembut melebihi lembutnya kain sutera saat mereka sedang baik-baik saja, tapi suara itu bisa berubah menjadi genderang menyakiti telinga tatkala mereka tengah bertengkar. Asyla akui, manusia tidak ada yang sempurna. Kendati demikian, Asyla suka sekali mendengar suara dari seorang Aslan William Behzad yang sudah berteman dengannya selama sepuluh tahun dan baru sepuluh hari menjadi suaminya itu.

"Kamu belum tidur?" Asyla balik bertanya.

"Belum, masih ada yang dikerjain."

"Oh ..." Asyla mengangguk-ngangguk.

"Di sini baru jam lima pagi, berarti di sana baru jam empat kan?"

Dari bench samping jendela kamar tempat Asyla duduk, sepasang matanya menatap jam digital yang tergantung di dinding. Dan, ya ... sekarang masih menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit pagi. "Iya, di sini baru jam empat, Lan."

"Tumben kamu udah bangun?"

Pertanyaan itu menghasilkan jeda cukup panjang. Bagaimana Asyla mengatakan kalau sebenarnya dia tidak bangun pagi-pagi hanya untuk menelepon Aslan, melainkan sejak jam sebelas malam usai pulang kerja dari kafe, sampai sekarang, dia sama sekali belum tidur, dan itu semua karena dia terlalu rindu.

Rindu dengan suaminya sendiri.

Tapi, tidak mungkin Asyla mengatakan yang sebenarnya, karena dia tahu, kalau Aslan mengetahui bahwa dia sama sekali tidak tidur dalam artian begadang semalaman-suaminya itu akan memarahinya habis-habisan. "Nggak tau, kenapa ya... bisa gitu." Tanpa sadar Asyla tersenyum.

Lalu, terdengar juga Aslan terkekeh geli dari seberang sana. "Kayaknya aku harus sering-sering keluar kota deh, biar kamu bangun pagi terus."

"Jangan ngaco kamu kalau ngomong."

"Kok ngaco, sih?" Kali ini Aslan tertawa. "Aku serius, biar kamu bangunnya pagi, nggak kebanyakan molor. Kamu tau sendirikan, gimana susahnya aku bangunin kamu tiap pagi, kalau kita mau berangkat kerja bareng?"

Asyla tidak menyahut. Dia hanya mendengkus keras, membuat Aslan lagi-lagi tertawa.

"Nanti kita harus liburan ke Laboan Bajo deh, La." Aslan bersuara. "Naik yatch sambil liatin sunset, kamu suka nggak?" Terdiam sejenak, seolah Aslan menunggu sahutan, namun tampaknya suara Asyla sama sekali tidak terdengar. Lantas. "Di sini seru, La. Pantainya bagus, tenang, cocok banget sama kamu. Terus-"

Before-After [All About Us]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang