Aku tertegun ketika Santi menghentikan langkahnya di depan sebuah toko pakaian dalam wanita. Toko itu dipenuhi dengan berbagai macam lingerie, mulai dari yang sederhana hingga yang paling mewah. Warna-warna cerah dan kain-kain lembut terpajang dengan rapi, seolah memanggil setiap orang yang lewat.
"Kita ke sini dulu yuk?" tanya Santi tiba-tiba, dengan senyum yang penuh arti.
Jantungku berdegup kencang, dan tangan Santi yang masih menggenggam tanganku sedikit menarik, mendorongku untuk masuk. Meski merasa canggung, aku mencoba tetap tenang dan mengangguk pelan. "Oke," jawabku, hampir berbisik.
Begitu masuk, seorang pramuniaga menyambut kami dengan senyum ramah. "Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?"
Santi, tanpa ragu, menjawab, "Istri saya butuh bh dan celana dalam, Mbak." Pramuniaga itu pun mengangguk, tak sedikit pun tampak heran. Santi melanjutkan, "Sekalian diukur ya, soalnya istri saya belum tahu ukuran bh-nya," sambil tertawa kecil dan mengelus pundakku.
Aku berdiri di sampingnya, wajahku memerah karena malu. Situasi ini terasa sangat berbeda, dan meski Santi berusaha membuatku nyaman, kenyataannya, aku merasa jauh dari itu.
Pramuniaga itu tersenyum lembut dan mengangguk, menunjukkan bahwa ini adalah hal yang biasa baginya. "Tentu saja, Pak. Mari kita ukur dulu ukuran bh-nya. Mbak, ikut saya ke ruang ganti ya," katanya sambil mempersilakan kami untuk mengikuti.
Aku menghela napas pelan, berusaha menenangkan debaran jantungku yang semakin cepat. Santi memandangku dengan senyuman, seolah-olah dia tahu betapa canggungnya aku saat ini. Meskipun dia mencoba membuatku merasa nyaman, kenyataannya situasi ini tetap terasa aneh dan tidak nyaman bagiku.
Aku mengikuti pramuniaga itu ke ruang pengukuran, dengan Santi berjalan di sampingku. Di dalam ruangan kecil yang beraroma lembut parfum wanita, aku berdiri dengan gugup, merasa setiap detik semakin lama. Pramuniaga itu mulai mengambil ukuran dengan hati-hati, memberikan instruksi lembut dan menjelaskan setiap langkahnya. Aku berusaha untuk tetap tenang, meskipun rasa malu dan ketidaknyamanan terus menghantui pikiranku.
"Tenang aja, Mbak. Ini cuma sebentar kok," kata pramuniaga itu dengan suara yang menenangkan, seolah-olah dia bisa merasakan kecemasan yang berusaha aku sembunyikan.
Sementara itu, Santi menunggu di luar ruangan, mungkin merasa lega karena proses ini akhirnya dilakukan. Tapi bagiku, setiap momen di ruang pengukuran itu terasa seperti konfirmasi bahwa diriku yang dulu semakin jauh.
Aku berdiri diam sejenak, merasakan jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Ketika pramuniaga itu memintaku untuk melepas blouse, rasa panik langsung melanda. Aku tahu bahwa pramuniaga ini hanya melakukan pekerjaannya, tetapi permintaannya membuatku merasa sangat enggan.
"Harus dibuka, Mbak?" tanyaku dengan nada ragu, mencoba mencari cara untuk menghindari situasi ini.
Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Terbalik
General FictionSetelah hampir tiga tahun pernikahan tanpa anak dan tekanan yang terus menghantui dari keluarga serta masyarakat, Rian dan Santi terlibat dalam pertengkaran hebat. Santi mengusulkan ide gila untuk menukar peran mereka sebagai upaya terakhir menyelam...