Malam itu, udara di istana terasa begitu tegang. Kilatan pedang terdengar di kejauhan, disertai dengan suara dentuman yang menggema di dinding-dinding batu yang dingin. Eva berdiri di balkon istananya, menatap langit malam yang gelap dengan hati yang bercampur aduk. Di luar, angin berhembus kencang, membawa serta suara jeritan yang jauh, menciptakan suasana yang penuh dengan ketidakpastian.
Sementara itu, di dalam aula utama istana, dua sosok berdiri berhadapan. Zeno dan Thalios, dua pria dengan takdir yang terjalin begitu rumit, saling memandang dengan tatapan penuh kebencian dan kesedihan. Pedang di tangan mereka berkilauan di bawah cahaya obor, siap untuk menyelesaikan apa yang telah lama ditunda.
"Jadi, ini akhirnya," kata Thalios dengan suara rendah namun tajam, suaranya hampir tenggelam di antara suara gemuruh pertempuran di luar. Matanya yang biasanya dingin, malam ini menyimpan kegelapan yang lebih dalam. "Selama ini, kau mencoba untuk menjatuhkanku, padahal kita adalah darah yang sama."
Zeno tersenyum pahit, tetapi senyuman itu tidak mencapai matanya. "Kau tidak tahu apa-apa, Thalios. Kau hidup dalam kemewahan, sementara aku dibuang ke kegelapan. Keluargamu menghancurkan hidupku, dan aku tidak akan pernah memaafkan itu."
Eva yang mendengar setiap kata dari balik tirai berat yang menutupi pintu masuk aula, merasa hatinya tertusuk. Zeno, pria yang selalu misterius dan penuh rahasia, ternyata adalah saudara tiri Thalios. Pengungkapan ini mengguncang dirinya, tetapi lebih dari itu, ia merasakan kedalaman dendam yang Zeno pendam selama bertahun-tahun.
Thalios menurunkan pedangnya sedikit, menghela napas panjang. "Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan dengan kebencian ini, Zeno. Kita sudah kehilangan terlalu banyak. Darah yang sama mengalir di dalam diri kita, dan aku tidak ingin menambah kematian lagi."
Zeno tertawa sinis. "Pengampunan? Kau ingin mengampuni aku? Setelah semua ini?" Matanya menyipit dengan kebencian yang mengakar kuat. "Kau benar-benar bodoh, Thalios. Pengampunanmu tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Aku akan mengambil takhta itu, dan menghapus setiap jejak keluargamu dari dunia ini!"
Thalios mengangkat pedangnya kembali, namun kali ini ada keraguan yang terlihat jelas di wajahnya. Dia memandang Zeno, bukan sebagai musuh yang harus dikalahkan, tetapi sebagai saudara yang hilang dalam gelapnya dendam. "Zeno... Aku tak bisa membiarkanmu melakukan ini."
Eva merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Dalam hatinya, dia tahu bahwa pertarungan ini bukan sekadar adu kekuatan, tetapi pertarungan antara cinta, pengkhianatan, dan pengampunan. Meski Zeno telah melakukan begitu banyak keburukan, ada sesuatu dalam diri Thalios yang tidak bisa sepenuhnya mengabaikan ikatan darah di antara mereka.
Pedang mereka bertemu lagi dalam benturan yang memekakkan telinga, tetapi kali ini, Thalios menyerang dengan lebih hati-hati, seolah-olah dia mencoba untuk mencegah hasil yang fatal. Zeno, di sisi lain, semakin gencar, didorong oleh amarah yang telah memakan dirinya selama bertahun-tahun.
Eva tidak tahan lagi hanya berdiri diam. Dia melangkah masuk ke aula, suaranya memecah ketegangan, "Berhenti!" teriaknya, membuat kedua pria itu sejenak terhenti.
Thalios memandangnya, ekspresinya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut, lebih rentan. "Eva..."
Zeno melirik ke arah Eva dengan kebencian yang sama sekali tidak berkurang. "Jangan campur tangan, Eva. Ini bukan urusanmu."
Namun, Eva tidak mundur. "Ini urusanku. Kau telah menyeretku ke dalam permainan ini sejak awal. Tapi Zeno, apa yang akan kau dapatkan dengan membunuh saudaramu sendiri? Apakah dendam itu benar-benar layak dibayar dengan darah?"
Zeno terdiam sejenak, terkejut oleh kata-kata Eva. Ada kebingungan yang muncul di matanya, seolah-olah untuk pertama kalinya, dia mempertanyakan motifnya sendiri. Namun, amarahnya segera kembali, menguasai dirinya. "Kau tidak mengerti apa-apa, Eva."
Tapi sebelum Zeno bisa melancarkan serangan lagi, Thalios menggerakkan pedangnya dengan cepat, melucuti senjata Zeno dalam satu gerakan yang mulus. Zeno terhuyung, terkejut, tetapi Thalios tidak menyerang lagi. Dia hanya berdiri di sana, memandang Zeno dengan tatapan penuh kesedihan.
"Aku tidak akan membunuhmu, Zeno. Kita sudah kehilangan terlalu banyak. Jika kau ingin takhta itu, ambillah. Aku tidak ingin hidupku diwarnai dengan darah saudaraku sendiri," kata Thalios dengan suara pelan namun penuh ketegasan.
Zeno tampak bingung, terombang-ambing di antara keinginan untuk menghancurkan dan rasa kebingungan yang tiba-tiba menyerangnya. "Kau... benar-benar tidak akan membunuhku?"
Thalios menggeleng. "Tidak. Kebencianmu sudah cukup menghancurkan kita semua. Aku tidak akan menambahnya."
Mata Zeno mulai berkaca-kaca, dan untuk pertama kalinya, ia tampak ragu. Namun, sebelum dia bisa memutuskan apa yang harus dilakukan, pintu aula terbuka lebar, dan para bangsawan serta prajurit masuk, menyaksikan pemandangan itu dengan takjub.
Salah satu bangsawan maju, suaranya terdengar keras dan penuh tuntutan. "Thalios, apa yang kau lakukan? Kau tidak bisa membiarkan dia hidup setelah semua yang dia lakukan!"
Thalios berbalik, menatap para bangsawan dengan tatapan tajam. "Keputusan ini adalah milikku. Aku yang akan menanggung konsekuensinya. Jika kalian ingin menilai, lakukanlah, tetapi aku tidak akan membunuh darah dagingku sendiri."
Eva memandang Thalios, merasakan campuran kekaguman dan ketakutan. Pria ini, yang selama ini penuh dengan kedinginan dan kekuasaan, kini menunjukkan sisi yang sama sekali berbeda—sisi yang penuh dengan kemanusiaan, meski itu berarti dia akan terlihat lemah di mata dunia.
Zeno akhirnya terjatuh berlutut, kehilangan semua kekuatan untuk melawan. Kebenciannya, yang selama ini menguasai dirinya, kini perlahan-lahan memudar, digantikan oleh kehampaan yang menakutkan. "Apa yang harus kulakukan sekarang...?" bisiknya, hampir tak terdengar.
Thalios mendekati Zeno, meletakkan tangan di bahunya. "Mulailah lagi, Zeno. Bukan sebagai musuh, tetapi sebagai saudaraku."
Suasana di aula itu berubah menjadi hening, seolah-olah seluruh istana menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Eva menatap mereka berdua, hatinya berkecamuk dengan emosi yang sulit dia pahami. Apa yang baru saja terjadi mengubah segalanya—bukan hanya untuk Zeno dan Thalios, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Namun, di balik semua itu, Eva tahu bahwa jalan ke depan masih penuh dengan duri. Pilihan yang mereka buat malam ini akan membawa konsekuensi yang lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan. Dan di tengah kegelapan yang masih menyelimuti istana, satu hal menjadi jelas—pertempuran mungkin telah berakhir, tetapi perang sesungguhnya baru saja dimulai.
***
Eva berdiri di ambang pintu, menyaksikan Thalios yang berdiri di samping Zeno yang terluka. Sebuah pertanyaan menggantung di benaknya: Apa yang akan terjadi pada mereka semua setelah malam ini? Dan bisakah dia benar-benar mempercayai Thalios setelah semua yang terjadi? Matanya bertemu dengan mata Thalios, dan dalam tatapan itu, dia merasakan sesuatu yang dalam dan tidak terucapkan—sebuah pengertian yang mereka berdua bagi, namun tak pernah diucapkan dengan kata-kata.
Malam itu, ketika semua kembali dalam diam, Eva menyadari bahwa pilihannya untuk tetap di sisi Thalios telah membawanya ke jalan yang lebih gelap dari yang pernah dia bayangkan. Dan di balik senyum dingin Thalios, dia tahu bahwa ini hanya permulaan dari apa yang akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thorns of Obsession
RomantikDalam kehidupan sebelumnya, sang protagonis adalah selir yang dibenci ratu dan dijadikan alat oleh sang kaisar. Kini, setelah transmigrasi, ia menjadi ratu yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan suaminya yang misterius. Namun, kali ini...