Malam itu begitu sunyi, hanya diiringi oleh angin malam yang berbisik pelan melalui jendela-jendela tinggi di lorong istana. Eva berdiri di depan meja kayu antik yang penuh dengan dokumen-dokumen berdebu, matanya menyusuri setiap halaman dengan ketelitian yang cermat. Cahaya dari lilin yang hampir padam menari-nari di permukaan kertas yang usang, menciptakan bayangan yang bergerak seiring dengan kegelisahan dalam hatinya.
Setumpuk dokumen kuno yang baru saja ia temukan di salah satu kamar tersembunyi istana itu mengungkapkan lebih dari yang ia harapkan. Di antara tulisan-tulisan tangan yang pudar, ada catatan tentang ramalan kuno yang selama ini hanya menjadi bisikan samar di antara bangsawan istana. Dan di sana, di antara baris-baris yang penuh teka-teki itu, namanya—Eva—tertulis dengan jelas, seperti luka yang baru saja terbuka.
"Ramalan ini..." gumamnya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. "Mengapa aku...?"
Jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia tiba di istana ini—perasaan bahwa hidupnya terikat oleh sesuatu yang jauh lebih besar daripada keinginannya untuk membebaskan diri dari cengkeraman Thalios. Tapi sekarang, dengan bukti di tangannya, segalanya terasa lebih nyata, lebih menakutkan.
"Jadi, inilah alasan sebenarnya mengapa dia tidak pernah melepaskanku," Eva merasakan perasaan campur aduk di dalam dirinya—antara ketakutan dan amarah, serta rasa sakit yang mendalam. Apakah semua yang terjadi di antara mereka hanya karena ramalan ini? Apakah dia tidak lebih dari sekadar pion dalam permainan takdir?
Suaranya bergetar saat ia melanjutkan membaca, setiap kata seperti pisau yang menggores hatinya. Ramalan itu berbicara tentang seorang wanita yang akan memegang kunci nasib kerajaan, seorang wanita yang akan menjadi penentu antara kehancuran atau kejayaan. Dan takdir itu seolah tertulis dalam darahnya sendiri.
Langkah kaki yang hampir tidak terdengar di belakangnya membuatnya tersentak. Eva berbalik dengan cepat, matanya yang penuh emosi bertemu dengan sepasang mata dingin yang sudah sangat ia kenal. Thalios berdiri di sana, bayangannya membesar di bawah cahaya lilin yang redup, menatapnya dengan intensitas yang membuat darahnya seakan membeku.
"Kau seharusnya tidak berada di sini," suaranya terdengar berat, penuh dengan makna tersembunyi.
Eva menggenggam dokumen di tangannya lebih erat, seolah itu adalah satu-satunya perlindungan yang ia miliki dari pria yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Aku berhak mengetahui kebenaran," jawabnya dengan suara yang lebih tegas daripada yang ia rasakan.
Thalios mendekat, langkahnya pelan tapi pasti. Setiap gerakannya seolah direncanakan dengan cermat, penuh kendali, namun matanya tidak bisa menyembunyikan sedikit pun gejolak yang ada di dalam dirinya. "Kebenaran?" Thalios berhenti tepat di depan Eva, tatapan matanya menembus jauh ke dalam jiwanya. "Kebenaran bisa menjadi beban yang terlalu berat untuk dipikul, Eva."
"Terlalu berat untuk siapa? Untukmu? Atau untukku?" Eva tidak mundur, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Ia tidak akan membiarkan dirinya terlihat lemah di hadapan Thalios.
Thalios mengulurkan tangannya, jemarinya dengan lembut menyentuh rambut Eva yang tergerai, mengangkatnya dengan sentuhan yang begitu bertolak belakang dengan kata-katanya yang dingin. "Untuk kita berdua," bisiknya, hampir seperti sebuah pengakuan. "Ramalan itu... adalah sesuatu yang sudah lama aku coba lupakan. Tapi sekarang, kau tahu segalanya."
"Dan karena ramalan itulah kau menahanku? Karena kau percaya bahwa aku akan menentukan nasib kerajaan ini?" Eva menatapnya, mencari jawaban di balik ekspresi tanpa emosi Thalios.
Thalios menundukkan kepalanya sedikit, mendekatkan wajahnya ke wajah Eva, napasnya terasa hangat di kulitnya. "Aku menahanmu karena tanpa dirimu, hidupku tidak memiliki makna. Tapi ramalan itu... itu hanya sebagian kecil dari alasan yang membuatku tidak bisa membiarkanmu pergi."
Ada keheningan yang begitu berat di antara mereka. Eva bisa merasakan detak jantung Thalios yang stabil, kontras dengan detaknya sendiri yang tidak beraturan. Perasaan yang selama ini ia coba tolak kembali muncul, menghantamnya dengan kekuatan penuh. Cinta dan benci, ketakutan dan keinginan, semuanya bercampur menjadi satu, mengikatnya lebih erat pada pria di hadapannya.
"Thalios," suaranya hampir tidak terdengar, tetapi Thalios mendengarnya dengan jelas. "Aku bukan alat yang bisa kau gunakan untuk mencapai ambisimu."
Thalios tersenyum tipis, senyuman yang tidak pernah mencapai matanya. "Dan aku bukan pria yang bisa kau taklukkan dengan mudah, Eva. Kita berdua terperangkap dalam permainan ini, dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengakhirinya bersama-sama."
Eva menatapnya dengan mata yang berkilauan penuh dengan emosi. "Permainan ini tidak akan berakhir sampai salah satu dari kita menyerah," katanya dengan nada yang menantang.
"Dan aku tidak akan pernah menyerah," jawab Thalios, jemarinya masih menggenggam rambut Eva dengan lembut, seolah ia takut kehilangan kontak fisik itu. "Karena menyerah berarti kehilanganmu, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa aku terima."
Mereka terdiam dalam waktu yang terasa abadi. Namun, di balik keheningan itu, ada sesuatu yang tak terucapkan, sebuah pemahaman bahwa takdir mereka telah ditentukan sejak lama. Dan meskipun mereka berdua mencoba melawan, pada akhirnya mereka hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar.
Eva akhirnya mengendurkan cengkeramannya pada dokumen di tangannya. Ia tahu bahwa tidak ada gunanya melawan ramalan yang telah mengikat mereka sejak awal. Tapi di balik semua itu, ada keinginan yang tumbuh semakin kuat dalam hatinya—keinginan untuk memahami pria di hadapannya ini, dan mungkin, suatu hari nanti, membebaskan diri mereka berdua dari belenggu takdir yang kejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thorns of Obsession
RomantikDalam kehidupan sebelumnya, sang protagonis adalah selir yang dibenci ratu dan dijadikan alat oleh sang kaisar. Kini, setelah transmigrasi, ia menjadi ratu yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan suaminya yang misterius. Namun, kali ini...