Malam itu, suasana istana terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara angin yang merayap di antara celah-celah batu dan daun pintu yang tertutup rapat. Di balik tirai kamar tidur yang tebal, Eva duduk terjaga.
Tidurnya terganggu oleh firasat buruk yang tak kunjung hilang sejak siang tadi. Pandangannya tertuju pada lilin yang hampir padam, api kecil yang meliuk-liuk seakan mencoba melawan kegelapan yang mengancam menelannya.
“Kenapa aku terus merasa ada yang tidak beres?” gumamnya, sambil meremas ujung gaunnya dengan gelisah.
Ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Thalios dari dirinya. Sejak pernikahan yang dipaksakan ini, Eva tidak pernah merasa aman di istana ini. Setiap sudut ruangan tampak penuh dengan rahasia yang siap mencengkeramnya kapan saja. Namun malam ini, rasa ingin tahunya lebih kuat dari ketakutannya.
Eva bangkit dari tempat tidurnya, membiarkan kakinya melangkah di lantai dingin tanpa alas. Ia mengenakan jubah tebal dan membuka pintu kamarnya dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan penjaga malam. Tangannya memegang erat pelita kecil yang cukup menerangi jalan, tapi tidak menarik perhatian.
Langkahnya membawanya ke lorong panjang yang jarang ia lewati. Ia tak tahu mengapa, tapi nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu di sini. Saat ia melangkah semakin jauh, ia melihat sebuah celah kecil di dinding yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan.
Tangannya menyentuh permukaan dinding batu, merasakan kesan lembut dari sesuatu yang telah sering disentuh, seolah-olah ada yang sering melewati tempat ini.
Dengan hati-hati, Eva mendorong bagian dinding tersebut. Dinding itu bergeser dengan suara berderit pelan, membuka sebuah koridor sempit yang tersembunyi di baliknya. Jantung Eva berdegup kencang, tapi ia tidak mundur. Ia tahu, ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi.
Ia melangkah masuk, pelitanya hanya cukup untuk menerangi beberapa langkah di depannya. Koridor itu panjang dan berliku, membuatnya merasa seperti terperangkap dalam labirin yang tak berujung. Tapi Eva terus melangkah, menahan napas setiap kali ia mendengar suara-suara samar dari dinding sekitarnya.
Akhirnya, ia tiba di ujung koridor yang berakhir di sebuah ruangan kecil. Dari celah pintu kayu yang sedikit terbuka, Eva bisa mendengar suara-suara yang dikenalnya—Thalios dan Zeno. Suara mereka rendah, tapi cukup jelas bagi Eva yang berdiri tepat di balik pintu.
“Rencana ini harus berhasil, Zeno,” suara Thalios terdengar penuh tekanan. “Eva adalah kunci dari semuanya. Jika dia tidak mematuhi, kita harus memastikan dia tidak akan pernah keluar dari sini.”
Eva terhenyak, napasnya tertahan. Apa maksud Thalios? Ia mencoba memahami kata-kata suaminya itu, tapi setiap kata hanya menambah kebingungan dan ketakutannya.
“Tenang saja, Yang Mulia,” jawab Zeno dengan nada tenang yang dingin. “Dia tidak akan pernah tahu. Bahkan jika dia tahu, dia tidak akan punya pilihan selain menerima nasibnya.”
Pikiran Eva berkecamuk. Apakah mereka berencana membunuhnya? Atau ada sesuatu yang lebih buruk lagi? Ia mundur perlahan, berharap mereka tidak menyadari keberadaannya.
Saat ia berbalik untuk pergi, kakinya tersandung batu kecil di lantai, menyebabkan suara gemericik yang tak bisa dihindari. Eva membeku, telinganya berdegup kencang. Suara percakapan di dalam ruangan terhenti.
“Siapa di sana?” suara Thalios terdengar tajam, penuh kecurigaan.
Eva tidak menunggu lagi. Dengan cepat, ia berlari kembali ke koridor sempit, membiarkan pelitanya padam di tengah jalan agar tidak menarik perhatian. Nafasnya tersengal-sengal saat ia terus berlari, berharap bisa mencapai kamarnya sebelum Thalios atau Zeno menemukan jalur rahasia ini.
Ketika akhirnya ia tiba di kamarnya, Eva langsung mengunci pintu dan bersandar di atasnya. Dadanya naik turun, tubuhnya bergetar antara ketakutan dan kebingungan. Apa yang baru saja ia dengar? Dan apa yang akan ia lakukan sekarang?
“Haruskah aku melarikan diri?” Eva bertanya pada dirinya sendiri, tapi ia tahu jawabannya tidak semudah itu. Jika Thalios benar-benar merencanakan sesuatu terhadapnya, melarikan diri mungkin hanya akan mempercepat akhir hidupnya. Tapi jika ia tetap di sini, ia harus menemukan cara untuk menghadapinya, untuk bertahan hidup di tengah jebakan yang semakin menutup.
Malam itu, Eva tidak tidur. Di balik tirai gelap kamarnya, ia merencanakan langkah berikutnya. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang menemukan kebenaran di balik semua ini. Sebuah kebenaran yang mungkin lebih gelap daripada apa yang bisa ia bayangkan.
Namun satu hal yang pasti—Eva tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dalam kesunyian malam, ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi, ia akan menemukan cara untuk membalikkan permainan ini. Bagaimanapun caranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thorns of Obsession
RomanceDalam kehidupan sebelumnya, sang protagonis adalah selir yang dibenci ratu dan dijadikan alat oleh sang kaisar. Kini, setelah transmigrasi, ia menjadi ratu yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan suaminya yang misterius. Namun, kali ini...