Bab 23: Pengakuan dan Emosional

89 2 0
                                    

Malam itu, hujan turun deras, seolah langit sendiri menangis atas takdir yang mulai menggelap. Eva berdiri di balkon istana, menyaksikan tetesan air yang jatuh dengan kecepatan dan kekuatan yang seakan mencerminkan pergolakan hatinya.

Tangannya menggenggam erat pagar besi dingin, sementara pikirannya tak bisa melepaskan diri dari kata-kata yang baru saja didengarnya dari Thalios.

Langkah kaki berat terdengar mendekat, dan tanpa perlu menoleh, Eva tahu siapa yang datang. Hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti sekelilingnya, seolah mengabarkan kehadiran Thalios yang penuh dengan kegelapan dan misteri.

"Eva," suara Thalios terdengar rendah, hampir seperti bisikan yang dibawa oleh angin malam.

"Apa yang kau lihat di luar sana? Apakah ada sesuatu yang lebih menarik daripada kenyataan yang kita hadapi sekarang?"

Eva tetap diam, membiarkan detik-detik berlalu dalam keheningan yang penuh ketegangan. Thalios berdiri di sampingnya, pandangannya mengikuti arah mata Eva yang menatap kosong ke hamparan gelap di luar.

"Kau tahu," Thalios melanjutkan dengan nada yang lebih dalam,

"Tidak peduli seberapa jauh kau mencoba untuk lari, kita selalu berakhir di tempat yang sama. Terjebak dalam lingkaran kebencian dan obsesi yang tak berkesudahan."

Eva akhirnya mengalihkan pandangannya, menatap Thalios dengan mata yang penuh dengan keteguhan. "Aku tidak pernah lari, Thalios. Aku hanya mencari jalan keluar dari jebakan yang kau ciptakan untukku."

Thalios tersenyum samar, senyum yang tidak pernah mencapai matanya. "Jebakan? Kau menganggap semua ini sebagai jebakan? Eva, kau lebih dari sekadar pion dalam permainan ini. Kau adalah ratu yang kubentuk dengan tanganku sendiri."

"Dan ratu itu," Eva menjawab dengan tegas, "tidak akan pernah tunduk pada seorang raja yang tak berperasaan."

Thalios tertawa pelan, nada suaranya penuh dengan sarkasme. "Tidak berperasaan? Kau tidak tahu seberapa dalam perasaan yang kumiliki untukmu, Eva. Perasaan yang terjalin antara kebencian yang membara dan cinta yang tak terkendali."

Eva tersentak mendengar pengakuan itu, tetapi ia dengan cepat menutupi keterkejutannya. "Cinta? Kau menyebut ini cinta? Cinta bukan tentang mengendalikan dan menghancurkan, Thalios. Apa yang kau miliki hanyalah obsesi yang dibalut dengan kebencian."

Tatapan Thalios mengeras, dan dia melangkah lebih dekat ke arah Eva, menyisakan hanya beberapa inci di antara mereka.

"Kau salah, Eva. Apa yang kurasakan lebih dari sekadar obsesi. Ini adalah cinta yang telah berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam. Aku tahu aku sudah terlalu jauh untuk mundur, tapi aku tak bisa—dan tak akan pernah—melepaskanmu."

Eva merasakan panas napas Thalios di wajahnya, tetapi dia tidak mundur. Dengan tegas, dia menatap ke dalam mata Thalios yang penuh dengan kebencian yang terpendam.

"Kau tak punya kendali atas diriku lagi, Thalios. Aku bukan lagi pion yang bisa kau mainkan sesuka hatimu."

Thalios mendekatkan wajahnya lebih dekat, hampir menyentuh pipi Eva. "Kau pikir bisa menghindar dariku? Kau pikir bisa hidup tanpa bayanganku yang selalu mengikutimu? Tidak, Eva. Meski kita saling membenci, kita juga saling membutuhkan. Aku tahu itu, dan kau juga tahu."

Hati Eva berdetak kencang, bukan karena ketakutan, tetapi karena kebenaran yang tak bisa ia sangkal. Di balik semua kebencian yang ada, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menahannya untuk tidak sepenuhnya melawan Thalios.

Namun, dia tak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan itu. "Thalios," dia berkata dengan suara yang hampir berbisik, "jika kau menganggap cinta adalah penjara yang kau ciptakan untukku, maka kau lebih bodoh dari yang pernah kupikirkan."

Thalios tersenyum kecil, senyum yang penuh dengan ironi. "Dan jika kau menganggap kebebasan adalah melarikan diri dariku, maka kau hanya menipu dirimu sendiri."

Mereka berdiri di sana, di tengah hujan yang semakin deras, tanpa ada yang ingin mengalah. Konflik batin yang mereka rasakan bukan hanya sekadar kebencian atau cinta—itu adalah campuran yang membingungkan, sebuah permainan kekuasaan yang penuh dengan ketegangan dan bahaya.

Akhirnya, Thalios mengambil langkah mundur, membiarkan jarak terbentuk kembali di antara mereka. "Permainan ini belum berakhir, Eva. Kita hanya baru memulainya."

Eva tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kata-kata Thalios benar—permainan ini memang belum berakhir, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin sulit untuk membedakan antara cinta dan kebencian yang telah mengikat mereka berdua.

Dengan sebuah anggukan kecil, Thalios berbalik dan meninggalkan balkon, membiarkan Eva berdiri sendiri dalam hujan.

Namun, dalam keheningan malam yang dipenuhi suara hujan yang menghujam bumi, Eva merasakan sesuatu yang baru—sebuah tekad yang kuat untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga untuk menang dalam permainan yang berbahaya ini.

Thorns of ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang