Bab 11: Ujian Kepercayaan Pertama

168 11 0
                                    

Malam itu, udara di istana terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya bulan menyelinap melalui jendela besar di aula utama, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer yang berkilauan. Di tengah kegelapan itu, Eva berdiri tegak, menunggu kehadiran Thalios.

Ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, tapi wajahnya tetap tenang, menyembunyikan segala perasaan yang bergemuruh di dalam dadanya.

Langkah kaki berat terdengar mendekat, dan tak lama kemudian, pintu besar di ujung aula terbuka perlahan.

Thalios muncul, sosoknya yang tinggi dan gagah terlihat lebih menakutkan dalam bayangan malam. Matanya yang tajam menatap langsung ke arah Eva, seakan ingin menelanjangi setiap lapisan rahasia yang ia coba sembunyikan.

"Eva," suara Thalios terdengar rendah, namun penuh otoritas. "Malam ini, aku punya sebuah tugas untukmu."

Eva mengangguk pelan, menyembunyikan rasa penasaran dan kecemasannya. Ia tahu bahwa perintah yang akan datang bukanlah sesuatu yang biasa.

Thalios terkenal kejam, dan ujian seperti ini pasti dirancang untuk mengukur loyalitas sekaligus menguji batas-batas emosinya.

"Tugas ini sederhana," lanjut Thalios, langkahnya semakin mendekat hingga jarak antara mereka hanya beberapa langkah. "Aku ingin kau mengirimkan pesan ini kepada Seraphina. Pastikan dia menerimanya tanpa ada seorang pun yang tahu, terutama Zeno."

Eva menerima gulungan kecil yang diberikan Thalios. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia segera menguasai dirinya.

"Aku mengerti, Yang Mulia," jawabnya dengan suara yang tetap, meskipun hatinya berdebar kencang. Apa yang sebenarnya direncanakan Thalios? Mengapa pesan ini harus disampaikan dengan begitu rahasia?

Senyum tipis terbentuk di bibir Thalios. "Bagus," katanya, nada suaranya dingin dan penuh perhitungan. "Ingat, satu kesalahan saja bisa berakibat fatal."

Tanpa menunggu lebih lama, Eva membungkuk hormat sebelum berbalik meninggalkan aula. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah bebannya bertambah dengan setiap detik yang berlalu.

Ketika akhirnya ia berada di luar aula, napasnya terasa lebih lega. Namun, ketegangan belum hilang dari tubuhnya. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar tugas biasa; ini adalah ujian, bukan hanya untuk kesetiaannya, tapi juga untuk ketahanan mentalnya.

Di tengah malam yang sunyi, Eva melangkah dengan hati-hati melalui koridor-koridor istana yang sepi. Ia melewati penjaga-penjaga yang tertidur, menghindari tempat-tempat yang terlalu terang.

Ketika sampai di dekat pintu kamar Seraphina, Eva berhenti sejenak, mendengarkan suara-suara di balik pintu. Hening. Dengan gerakan yang terlatih, ia menyelipkan pesan itu di bawah pintu, lalu segera melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang.

Saat kembali ke kamarnya, Eva merasa lega. Ia berhasil melaksanakan perintah itu tanpa ada yang mencurigai.

Namun, di balik keberhasilan itu, ada perasaan ganjil yang mulai tumbuh. Thalios tidak memberikan reaksi yang diharapkannya—tidak ada rasa syukur, tidak ada tanda puas, hanya pandangan dingin yang membuatnya bertanya-tanya.

Apakah ini benar-benar ujian kesetiaan, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang direncanakan Thalios?

Malam itu, ketika Eva mencoba tidur, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Thalios. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya tidak nyaman. Sebuah campuran emosi yang sulit dijelaskan, antara kebencian yang mendalam dan obsesi yang mengancam.

Eva mulai merasa bahwa ia bukan hanya sekadar alat bagi Thalios, melainkan pusat dari permainan yang jauh lebih gelap dan rumit.

Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, Eva menutup matanya, tapi ia tahu bahwa malam itu tidak akan memberikannya kedamaian.

Di luar kamarnya, bulan tetap bersinar terang, seolah-olah menyaksikan permainan berbahaya yang sedang berlangsung di istana ini. Dan Eva, tanpa ia sadari, telah menjadi bagian penting dari permainan itu.

Thorns of ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang