Malam itu, istana terasa sunyi. Cahaya bulan merayap masuk melalui jendela besar yang menghadap ke taman, memantulkan bayang-bayang panjang di sepanjang lantai marmer yang dingin.
Eva berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan mata yang tak berkedip, tetapi pikirannya jauh melayang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, namun di balik senyum itu, hati dan pikirannya penuh dengan kegelisahan yang tak kunjung reda.
Sudah beberapa hari sejak Thalios kembali dari medan perang, terluka parah. Eva tidak bisa melupakan ekspresi di wajahnya saat ia memasuki ruangan itu—wajah yang biasanya penuh dengan keyakinan kini tergurat rasa sakit dan kelelahan.
Ada sesuatu yang lain di matanya, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Kelemahan? Atau mungkin itu adalah rasa takut yang selama ini Thalios sembunyikan dengan baik?
Semenjak hari itu, Eva merasakan sebuah perubahan dalam dirinya. Perasaan yang sebelumnya ia coba tolak kini perlahan-lahan meresap masuk, seperti racun yang merambat di pembuluh darah.
Thalios, dengan segala kejamannya, telah menanamkan benih yang kini tumbuh menjadi sesuatu yang sulit ia kendalikan. Apakah ini cinta? Atau hanya keterikatan yang berbahaya? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, membuatnya tak bisa tidur nyenyak setiap malam.
Sebuah ketukan halus di pintu menariknya kembali ke realita. Eva berbalik, menghadap pintu yang terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pelayan yang membungkuk hormat.
"Yang Mulia, Tuan Thalios memanggil Anda ke kamarnya," kata pelayan itu dengan suara rendah, nyaris berbisik.
Eva mengangguk pelan, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Langkah-langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju kamar Thalios, setiap langkah seolah membawa beban yang semakin besar di pundaknya. Sesampainya di depan pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu itu dengan lembut.
"Masuk," terdengar suara Thalios dari dalam, suaranya serak dan terdengar lemah.
Eva mendorong pintu dan masuk, mendapati Thalios berbaring di ranjang dengan tubuh yang tertutup perban di beberapa bagian. Matanya yang tajam menatapnya, seperti biasa, tapi kali ini ada kilatan lelah yang tak bisa disembunyikan. Thalios mencoba tersenyum, tapi senyum itu lebih terlihat seperti seringai yang dipaksakan.
"Eva," panggilnya pelan, seolah hanya dengan menyebut namanya sudah cukup untuk menjelaskan segalanya.
Eva mendekat, duduk di kursi yang telah disiapkan di samping ranjangnya. Mereka saling menatap dalam keheningan, keduanya tahu bahwa kata-kata tak diperlukan untuk menyampaikan apa yang sedang mereka rasakan. Namun, Eva bisa merasakan dadanya terasa sesak, campuran antara rasa bersalah dan sesuatu yang tak ingin ia akui.
"Apa kau mengkhawatirkan aku?" Thalios bertanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Eva tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya sejenak, menatap luka-luka di tubuh Thalios yang tampak begitu nyata, begitu manusiawi. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau mendapatkan perawatan yang layak," jawabnya, menjaga nada suaranya tetap netral.
Thalios tertawa kecil, meski suara tawanya terdengar getir. "Eva, kau bisa saja berbohong pada semua orang di istana ini, tapi jangan berbohong padaku." Ia menatapnya dengan tatapan yang menusuk, seolah ingin menembus pertahanan terakhir Eva.
Eva terdiam, tak tahu harus berkata apa. Apakah ini saatnya mengakui apa yang ia rasakan? Atau lebih baik ia tetap menjaga jarak, demi melindungi dirinya sendiri dari Thalios yang penuh tipu daya?
Namun sebelum ia bisa membuat keputusan, Thalios meraih tangannya dengan perlahan, sentuhan yang begitu lembut hingga membuat Eva merinding.
"Aku mungkin telah membuat banyak kesalahan," Thalios berkata, "tapi satu hal yang selalu kurasakan sejak pertama kali melihatmu adalah bahwa kau adalah seseorang yang berbeda. Kau bukan hanya bagian dari permainan ini, Eva. Kau adalah pusatnya."
Kata-kata itu menghantam Eva seperti gelombang pasang. Ia ingin menarik tangannya, ingin lari dari segala yang baru saja dikatakan Thalios, tapi sesuatu dalam dirinya menahan. Ada kebenaran di balik kata-kata Thalios yang membuat Eva tak bisa berpaling.
Saat itu, pintu kamar tiba-tiba terbuka, memperlihatkan sosok Zeno yang berdiri dengan anggun di ambang pintu. "Mengganggu, bukan?" katanya dengan senyum yang tak sepenuhnya menyembunyikan niat jahatnya.
Eva tersentak, melepaskan genggaman Thalios secepat mungkin, dan berdiri dengan canggung. Kehadiran Zeno selalu membuatnya merasa seperti sedang berada di tengah jebakan yang tak bisa ia hindari. Zeno mendekat dengan langkah yang tenang, seperti pemangsa yang yakin akan buruannya.
"Eva," Zeno berbisik dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua, "kau tahu apa yang harus kau lakukan. Waktunya semakin dekat. Jangan biarkan perasaanmu menghancurkan segalanya."
Eva menatap Zeno dengan mata yang penuh keraguan, hatinya berperang antara tugas dan perasaan. Ia tahu bahwa Zeno benar, namun ada sesuatu yang membuatnya ragu, sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri.
"Apakah kau sudah memutuskan?" Zeno mendesak, tatapannya menusuk ke dalam jiwa Eva.
Eva tak menjawab, hanya menatap kedua pria itu dengan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia merasa terperangkap dalam skema yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Pilihan yang harus ia buat sekarang akan menentukan masa depannya, namun untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Eva tidak tahu pilihan mana yang akan membawanya menuju kebebasan yang ia cari selama ini.
Malam itu, saat ia kembali ke kamarnya, Eva berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Eva?" bisiknya kepada bayangannya sendiri.
Namun, bayangan itu hanya kembali menatapnya dengan dingin, seperti cermin yang memantulkan semua kebimbangan yang ada di hatinya. Apakah ia benar-benar telah jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti di masa lalunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thorns of Obsession
RomanceDalam kehidupan sebelumnya, sang protagonis adalah selir yang dibenci ratu dan dijadikan alat oleh sang kaisar. Kini, setelah transmigrasi, ia menjadi ratu yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan suaminya yang misterius. Namun, kali ini...