Bab 7: Deklarasi Perang Dingin

287 11 0
                                    

Matahari pagi yang menyilaukan menyapu Istana Vilderyn dengan cahaya keemasan, seolah berusaha menyingkirkan kegelapan yang mengintai di sudut-sudutnya.

Namun, bagi Eva, pagi itu terasa seperti awal dari sebuah peperangan yang belum terlihat. Saat dia berjalan melewati koridor-koridor megah, pikirannya penuh dengan perasaan campur aduk setelah pertemuan malam sebelumnya dengan Thalios.

Eva menyesap udara pagi yang segar, berusaha menenangkan dirinya. Namun, bayangan Thalios—dengan tatapan tajamnya dan suara lembut yang menyimpan misteri—terus menghantuinya. Dia merasakan ketegangan yang menumpuk, seperti benang yang semakin ketat sebelum akhirnya terputus.

Dia melangkah masuk ke ruang makan besar di mana Thalios sudah menunggu, duduk dengan tenang di kursi yang biasanya hanya diperuntukkan bagi raja.

Dengan rambutnya yang disisir rapi dan pakaian formal yang memancarkan aura kekuasaan, dia tampak seperti sosok yang tak tergoyahkan. Namun, Eva tahu bahwa di balik penampilan itu, ada sebuah badai yang siap meledak.

“Selamat pagi, Ratu,” Thalios menyapa, suaranya datar dan tak terduga. “Apakah tidurmu nyenyak?”

Eva menahan diri untuk tidak menggigit lidahnya. “Lebih baik dibandingkan pertemuan kita malam lalu,” jawabnya, berusaha menunjukkan keberanian. Dia tidak akan membiarkan Thalios melihat betapa hatinya bergetar di hadapannya.

Thalios tersenyum tipis, namun ada sesuatu yang tajam dalam tatapannya. “Oh, aku yakin itu bukan satu-satunya hal yang membuatmu terjaga malam itu.”

Eva merasa darahnya mendidih. “Dan aku yakin, kamu memiliki banyak rahasia yang siap untuk disimpan jauh di dalam dirimu, Thalios.”

Dia maju selangkah, berani mendekat. “Kau tidak akan pernah bisa melupakan apa yang kau lihat, bukan? Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Eva. Pernikahan ini hanyalah permulaan.”

Mendengar kalimat itu, jantung Eva berdegup kencang. Ada ancaman yang tersirat dalam kata-kata Thalios, sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan pernikahan. “Kau pikir aku akan menjadi bonekamu, Thalios? Ini bukan permainan yang bisa kau kendalikan.”

Thalios berdiri, tubuhnya menjulang tinggi dan menakutkan, namun ada magnetisme dalam sikapnya yang membuat Eva merasa seolah terikat. “Kau bisa menolak semua ini, tapi ingat—aku memiliki cara untuk membuatmu berubah pikiran. Dan aku akan melakukannya dengan cara apapun yang diperlukan.”

Eva menatapnya dengan berani, mencoba mengalahkan rasa takut yang menyelinap di dalam dirinya. “Mungkin kau bisa menciptakan penjara emas, tetapi aku tidak akan pernah mematuhi aturan yang kau buat.”

Mereka berdua terdiam, tatapan saling bertautan dalam keheningan yang tegang. Seolah-olah saat itu mengikat mereka dalam sebuah perang emosional yang tak terlihat.

Suasana di ruang makan yang biasanya hangat dan penuh keceriaan kini terasa membeku, dikelilingi oleh bisikan-bisikan yang tak terucapkan.

“Sepertinya kita terjebak dalam sebuah permainan, Eva,” Thalios memecah keheningan, suaranya lebih tenang, tetapi tajam. “Dan aku tidak akan menjadi pihak yang kalah.”

Dia mendekat lagi, hingga jarak mereka begitu dekat sehingga Eva bisa merasakan hembusan nafasnya. “Jangan berani mengira bahwa aku akan membiarkanmu pergi. Tidak setelah aku melihat sisi lain dirimu yang kau sembunyikan.”

“Lihat sisi lain? Atau sisi yang lebih baik, Thalios?” Eva menantang, walaupun hatinya berdebar. “Kau berpikir aku akan terpikat dengan permainan ini? Aku bukan gadis bodoh yang akan terjerat dalam pesonamu.”

Dia melangkah mundur sedikit, berusaha mengatur jarak di antara mereka. Namun, Thalios hanya tersenyum, senyum yang mencerminkan keyakinan dan sesuatu yang lebih gelap.

“Dan kau berpikir bahwa semangatmu ini akan cukup untuk menghentikanku?”

“Semangatku? Ini adalah harga diriku, Thalios!” suara Eva semakin meninggi, rasa frustasi mendorongnya untuk lebih berani.

“Aku tidak akan dijadikan alatmu dalam permainan ini. Aku akan menemukan cara untuk memecahkan semua ini, meski itu berarti aku harus melawanmu.”

Tatapan Thalios berubah menjadi tajam, seolah-olah dia baru saja mendengar tantangan yang diinginkan. “Kau tahu, Eva,” dia mendekat lagi, mengulurkan tangannya dan menyentuh dagunya dengan lembut, “aku suka melihat ketegangan ini dalam dirimu. Itu membuatku semakin ingin menjelajahi semua sisi dari dirimu.”

Eva menepis tangannya dengan cepat, merasa marah dan terganggu oleh kontak fisik yang membuat jantungnya berdebar. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Mengancamku, menjadikan hidupku sebagai permainanmu.”

Thalios mundur sedikit, tetapi senyum di wajahnya tidak pudar. “Mungkin bukan hanya permainan, tetapi sebuah deklarasi perang. Kita berdua tahu bahwa kita berada di garis depan pertempuran ini.”

“Dan aku tidak akan mundur, Thalios. Meskipun semua ini baru saja dimulai.” Eva menatapnya dengan keyakinan, mencoba menyembunyikan keraguannya.

“Begitu pun aku,” Thalios menjawab, suara dalam dan penuh tekad. “Aku tidak akan melepaskanmu, Eva. Dan aku akan memastikan bahwa kau melihat betapa sulitnya untuk melawan hasrat ini.”

Eva merasa darahnya berdesir. Di satu sisi, dia merasa terancam oleh keberanian Thalios. Namun di sisi lain, ada sensasi berbahaya yang membuatnya merinding—sebuah rasa ketertarikan yang terlarang.

“Aku tidak akan menjadi barang milikmu,” ujarnya tegas, meskipun dalam hatinya, suara lembut Thalios menggoda bagian terdalam dari dirinya.

Thalios mundur, meninggalkan ruang makan dengan langkah mantap. “Dan aku akan membuktikan sebaliknya.”

Dengan keputusan yang terpatri di benaknya, Eva tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai. Ketegangan antara mereka menjadi bagian dari sebuah tarian berbahaya, dan dia tidak akan membiarkan Thalios mendominasi langkahnya.

Namun, saat dia berbalik menuju jendela, memandang dunia luar yang seolah bersembunyi di balik tirai kebencian, dia merasakan hal yang lebih dalam—sebuah ketertarikan yang tak terduga, mengancam untuk merusak semua pertahanan yang telah dibangunnya.

Eva menatap ke luar, memikirkan segala yang telah terjadi. Di dalam hatinya, dia menyadari satu hal—perang dingin ini tidak akan mudah, dan di antara kegelapan, ada cahaya yang harus dia temukan sebelum terlambat.

Thorns of ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang